nagasasra sabuk inten jilid 10

Nagasasradan Sabuk Inten 10 Ketika pemimpin pengawal itu merasa bahwa pukulannya dapat dielakkan dengan mudah, ia menjadi semakin marah. Dengan geramnya ia melompat maju sekaligus tangannya menyambar leher. Tetapi kembali serangannya itu gagal. NogososroSabuk Inten (03) Dipublikasi pada 25 Maret 2012 oleh ranggatohjaya I. TETAPI sebentar kemudian, kepuasan mereka dipecahkan oleh suatu kenyataan yang sangat aneh bagi Lawa Ijo. Tak pernah seorang pun yang dapat melepaskan diri dari kematian, apabila tubuhnya tergores sedikit saja oleh aji Klabang Sayuta. Lanjutandari jilid 15 KETIKA Pasingsingan dan Sura Sarunggi berjalan melintasi pendapa, tak seorangpun berusaha mencegahnya. Mereka memandang saja seperti memandang hantu. Mantingan dengan trisula di tangannya, hanya gemetar saja di tempatnya, sedang Wirasaba tegak seperti patung dengan kapak di tangan. Meskipun tangan Rara Wilis sudah melekat di hulu pedangnya, ia pun tidak berbuat apa-apa. NAGASASRA & SABUK INTEN Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital INDEX Part 1 Part 2 Part 3 Part 4 Part 5 Part 6 Part 7 Part 8 Part 9 Part 10 Part 11 Part 12 Part 13 Part 14 Part 15 Part 16 Part 17 Part 18 Part 19 Part 20 Part 21 Part 22 Part 23 Part 24 Part Nagasasradan Sabuk Inten KARYA SINGGIH HADI MINTARDJA (S.H. MINTARDJA)Ada 29 Jilid Audio Books di Channel Taman Dengar Cahaya hanya untuk mempermudah pengge Männer Die Mit Allen Frauen Flirten. Jilid 12Karena itu, baik Mahesa Jenar maupun Gajah Sora pada saat itu harus mengerahkan segenap daya kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh suara itu. Namun demikian kesaktian Pasingsingan yang tersalur lewat bunyi tertawa itu bagaikan jarum yang menusuk-nusuk ulu hati. Alangkah nyerinya, bahkan panas pula seperti dijilat lidah pada saat itu Mahesa Jenar dan Gajah Sora telah mengerahkan segala kekuatannya, namun terasa tubuhnya menggigil dan semakin lama semakin kehilangan Gajah Sora maupun Mahesa Jenar pernah mendengar kisah dari sahabat-sahabatnya yang sering mengarungi samudera-samudera besar, bahwa di Laut Cina terdapat sebuah pulau kecil yang sangat ditakuti, sehingga pulau itu dinamai pulau hantu. Apabila ada kapal yang terjerumus ke dekat pulau itu, maka akibatnya akan mengerikan sekali. Dari pulau itu terdengarlah berbagai macam nada orang tertawa-tawa dengan getaran yang dahsyat sehingga orang yang mendengarnya akan menjadi gila karenanya. Bahkan tidak jarang diantara pelaut-pelaut itu kemudian menemui ajalnya dengan cara yang mengerikan. Ada yang terjun ke laut, ada yang mati lemas, dan ada yang mati karena saling bertempur dan mereka meskipun tidak mendekati pulau hantu itu, mendengar pula suara tertawa yang mengerikan dan telah hampir berhasil merontokkan kesadaran ketika Gajah Sora dan Mahesa Jenar sudah hampir benar-benar jatuh ke dalam pengaruh suara itu, tiba-tiba terdengarlah suara tembang yang mengalun seolah-olah menyusur dedaunan dan sulur-sulur sepasang beringin itu. Kemudian dengan pengaruh yang sejuk, nada-nada itu menggetarkan udara dan menyusup ke dalam dada Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Suara tembang itupun mempunyai pengaruh yang luar biasa pula. Tetapi dayanya berlawanan dengan suara tertawa Pasingsingan. Suara tembang itu seolah-olah siraman air yang memadamkan api yang menyala-nyala membakar kesadaran bersama-sama dengan daya perlawanan masing-masing, suara tembang itu segera dapat menenangkan pikiran Gajah Sora dan Mahesa ketika mereka berdua bersama-sama menoleh ke arah suara itu, dilihatnya Ki Ageng Pandan Alas dengan enaknya duduk di atas tanah bersandar dinding ringin kurung itu dengan kaki bersilang. Sikapnya seperti seorang anak gembala yang dengan tenangnya berdendang di bawah pohon rindang. Ketika itu sinar matahari sedang dengan teriknya memanasi padang rumput. Lagunya adalah lagu kesayangan orang tua, yang sudah sering didengar oleh Mahesa Jenar, yaitu lagu lagunya itu, Pandan Alas pun telah memancarkan kesaktiannya pula untuk melawan kesaktian yang merasa bahwa serangannya dapat digagalkan oleh Pandan Alas, menjadi semakin marah. Maka dengan menggeram hebat ia berkata, “Setan tua Tidakdapatkah kau menahan dirimu untuk tidak mencampuri urusanku. Aku telah mencoba melupakan kelakuanmu di Hutan Tambakbaya beberapa minggu lalu? Kini kembali kau berbuat gila, Pandan Alas, jangan menunggu sampai kesabaranku habis.”Ki Ageng Pandan Alas seolah-olah tidak mendengar kata-kata Pasingsingan itu. Ia masih saja berlagu terus sampai kalimat yang sikap Pandan Alas yang seolah-olah tidak mempedulikan ancamannya, Pasingsingan menjadi bertambah marah. Kini kesabarannya telah benar-benar habis. Menurut anggapannya, Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Pandan Alas telah bersepakat untuk bersama-sama menghinanya. Karena itu ia telah bertekad untuk membuat perhitungan yang terakhir.“Pandan Alas..., biarlah aku berkata kepadamu demi persahabatan kita yang telah berpuluh-puluh tahun. Kalau kali ini kau tidak mau mendengarkan, biarlah untuk seterusnya kau tidak akan pernah mendengarnya lagi.””Pandan Alas , coba kau tahan dirimu sedikit kali ini. Janganlah kau menghalangi akuuntuk mengambil Nagasasra dan Sabuk Inten. Kalau kau sendiri ingin memilikinya, sebaiknya kita berlomba siapakah yang mendapatkannya lebih dahulu. Juga terhadap kedua anak-anak yang tidak mempunyai sangkut paut apa-apa dengan kau itu. Biarlah aku bereskan dahulu. Yang seorang telah menghantam muridku dengan Sasra Birawa di hutan Tambakbaya, sedang seorang lagi telah menyerang aku sehingga jubahku tersobek,” kata suara Pandan Alas tertawa pendek. “Pasingsingan..., benarkah aku pernah bersahabat dengan kau? Kalau dahulu aku mempunyai seorang sahabat yang bernama Pasingsingan pula, aku kira berbeda dengan Pasingsingan yang aku hadapi sekarang,” tanya Pandan Alas.“Maksudmu?” tanya Pasingsingan. Suaranya terdengar bergetar menahan kemarahan yang sudah memuncak. Tetapi karena ia memakai kedok maka kesan mukanya tak dapat diketahui.“Maksudku adalah...” jawab Pandan Alas, “Pasingsingan yang aku kenal sifatnya sama sekali berbeda dengan Pasingsingan yang sekarang berdiri di hadapanku. Pasingsingan yang aku kenal dahulu meskipun ujud dan bentuknya tepat seperti kau ini, tetapi wataknya adalah berlawanan sama sekali. Menurut perhitunganku, Pasingsingan sahabatku itu tidak mungkin mengambil seorang murid yang menamakan dirinya Lawa Ijo. Tidak mungkin pula kini bekerja mati-matian untuk merampas Nagasasra dan sabuk Inten dari tangan murid sahabatnya yang lain, yang bernama Ki Ageng Pengging Sepuh, serta putra sahabatnya yang bernama Sora Dipayana.”Tampaklah tubuh Pasingsingan menggigil menahan diri. Nafasnya berjalan semakin cepat. Kembali terdengar suaranya yang dalam, yang seolah-olah melingkar-lingkar di dalam perutnya. “Pandan Alas..., lalu siapakah menurut dugaanmu aku ini?”Pandan Alas mengerinyitkan alisnya. “Kenapa kau bertanya begitu? Bukankah kau menamakan dirimu Pasingsingan. Aku tidak membantah bahwa kau bernama Pasingsingan. Tetapi kau bukan Pasingsingan sahabatku itu, meskipun kau juga mempunyai tanda-tanda yang bersamaan dan ilmu Gelap Ngampar yang baru saja kau pertunjukkan untuk menjebol dada anak-anak itu.”Gajah Sora dan Mahesa Jenar tak sepatah kata pun berani mencampuri perbantahan mereka. Setelah mereka berdua mengalami serangan Pasingsingan dengan nada tertawanya yang bernama Gelap Ngampar itu, mereka merasa betapa kecil diri mereka untuk menghadapinya. Untunglah bahwa Pandan Alas berhasil menolong mereka menyelamatkan dari pengaruh ilmu Gelap Ngampar yang dahsyat mereka berdua melihat kedua tokoh itu telah kehilangan kesabaran dan akan bertempur mati-matian. Maka sebaiknya bahwa mereka untuk sementara tidak usah berdesirlah dada mereka ketika mereka melihat Pasingsingan yang sedang marah itu, tiba-tiba dari dalam jubahnya menarik sebilah pisau belati panjang. Pisau ini mirip benar bentuknya dengan pisau yang sering dipergunakan oleh gerombolan Lawa Ijo, tetapi pisau ini tidak berwarna putih mengkilap, melainkan kuning memegang belati itu, Pasingsingan menggeram, “Pandan Alas, aku tidak biasa bertempur dengan senjata kalau tidak sedang mempertimbangkan untuk memotong kepala seseorang. Sekarang kau di sini bertiga dengan tikus-tikus itu untuk bersama-sama mengeroyok aku. Biarlah aku tidak akan mundur. Bahkan aku ingin membawa kepalamu bertiga ke Mentaok sebagai suatu bukti bahwa Pasingsingan tak dapat dihinakan orang.”Melihat pisau belati panjang itu di tangan Pasingsingan serta mendengar kata-katanya, mau tidak mau hati Gajah Sora dan Mahesa Jenar bergetar hebat. Meskipun mereka bukan orang-orang kerdil yang takut mati, namun menghadapi seorang seperti Pasingsingan, mereka merasa gentar juga. Tetapi bagaimanapun apabila keadaan sudah memaksa maka apapun yang akan terjadi pasti harus Gajah Sora dan Mahesa Jenar memusatkan segala kemampuannya yang ada lahir batin, dan disalurkannya menurut saluran masing-masing. Gajah Sora dengan Lebur Seketi dan Mahesa Jenar dengan Sasra Alas yang sejak tadi tampaknya acuh tak acuh saja, setelah melihat Pasingsingan bersenjata, menjadi agak terkejut juga. Perlahan-lahan ia berdiri dan dengan mata yang berapi-api ia memandang Pasingsingan seperti memandang hantu. Rupa-rupanya orang tua itu pun telah menjadi marah.“Pasingsingan..., kau ingat bahwa dahulu kita pernah bertempur?”Pasingsingan tidak segera menjawab, agaknya ia sedang mengingat-ingat. Baru beberapa lama kemudian ia berkata, “Aku ingat, Pandan Alas.”“Barangkali waktu itu kita baru pertama kali bertempur. Bukankah begitu?,” sambung Pandan Pasingsingan mengingat-ingat. Apakah maksudmu dengan menceritakan kembali masa-masa yang telah lama silam itu. Banyak hal yang sudah tak dapat aku ingat kembali.’Aneh...,” sahut Pandan Alas, “pertemuan yang menarik itu, kau kira, baik kau maupun aku tak akan melupakannya.”“Ya, aku ingat,” jawab Pasingsingan kesal.“Waktu itu aku mengira kalau kau adalah seorang penjahat yang sedang menyembunyikan wajah aslimu di belakang kedokmu yang jelek itu. Tetapi setelah kita bertempur tiga hari tiga malam tanpa berkesudahan, barulah kita saling bertanya.”Pandan Alas... potong Pasingsingan, adakah kau sedang mengorek rasa persahabatanku supaya aku memaafkan kau sekarang ini? Ketahuilah, aku sudah terlanjur mencabut pisauku ini. Maka pisau ini harus menemukan korbannya. Kalau kau menyesal telah mencampuri urusanku, kau boleh pergi. Tetapi tikus-tikus ini tetap di tanganku.”Mendengar kata-kata Pasingsingan itu bergeloralah dada Pandan Alas yang biasanya senang berkelakar. Meskipun demikian ia masih berkata tenang, “Kenapa kau takut mendengar ceritera-ceritera masa silam Pasingsingan? Adakah sesuatu yang telah menyiksa perasaanmu sehingga kau tidak berani mengingatnya lagi?”“Persetan dengan masa lampau,” bentak Pasingsingan. “Masa itu tak akan kembali lagi. Yang penting bagiku adalah masa kini dan masa depan perguruanku. Itu sebabnya aku berkeras untuk menemukan Nagasasra dan Sabuk Inten.” Kembali terdengar suara tertawa Pandan Alas yang dipaksakan. Katanya; "tetapi hari ini adalah kelangsungan dari hari kemarin dan seterusnya. Hidupmu sekarang adalah kelanjutan dari hidupmu 25 tahun yang lalu.""Omongan orang sekarat," bantah Pasingsingan. "Aku pata menjalani kehidupanku kini tanpa masa lampau itu. Dan masa lampau itu sama sekali tak berarti bagiku.""Sebab masa lampau dari Pasingsingan itu bukan milikmu," jawab Pandan yang diucapkan meskipun diucapkan alam nada yang rendah, tetapi mempunyai akibat yang hebat sekali. Pasingsingan yang telah sekian lama menahan kemarahannya, mendengar kata-kata Pandan Alas dengan darah yang dijawabnya hampir berteriak, "Apa perdulimu. Bahkan aku sendiri tidak perduli kepada masa lampau itu. Dan sekarang menghadapi saat terakhirmu kau tidak usah mengigau tentang Pasingsingan. Apakah aku Pasingsingan sahabatmu ataukah Pasingsingan yang lain tidaklah penting bagimu. Tetapi Pasingsingan yang sekarang berada dihadapanmu inilah yang akan menentukan saat terakhirmu bersama-sama dengan kedua orang yang terlalu sombong itu. Nah bersedialah untuk mati. Aku sudah hampir mulai."Ketegangan yang memuncak telah melibat otak Gajah Sora dan Mahesa Jenar. namun mereka melihat Pandan Alas tersenyum pahit sambil berkata " Nah kalau demikian aku yang seharusnya menentukan sikap pula. Kau tidak usah menyebut lagi demi persahabatan kita, sebab persahabatan diantara kita tidak pernah kita alami. Kalau aku menyebut masa lampau itu hanyalah supaya aku yakin dengan siapa aku berhadapan. Sebab terhadap Pasingsingan sahabatku itu, tak mungkin aku bersikap keras. Sekarang silahkan mulai," lalu tiba-tiba saja ditangan orang tua itu bercahayalah sinar yang kemilau. Itulah pusaka Pandan Alas yang dahsyat, yang bernama Kiai Sigar segera menjadi hening sepi, tetapi diliputi oleh ketegangan yang memuncak. Gajah Sora dan Mahesa Jenar duduk diatas kuda masing-masing seperti patung. Meskipun didalam dada mereka bergolak berpuluh macam persoalan yang simpang siur sebab dihadapan mereka dua orang tokoh sakti akan bertanding mati-matian sehingga meeka berdua merasa perlu untuk mempergunakan pusak itu, maka pertempuran yang akan berlangsung pasti akan merupakan pertempuran antara hidup dan sampai beberapa saat, mereka masih berpijak pada tempatnya masing-masing. Tak seorangpun dari kedua tokoh sakti yang bergerak. Sehingga terdengar kembali suara Ki Ageng Pandan Alas berkata "Pasingsingan, silahkan mulai. Aku sudah siap."Tetapi Pasingsingan tidak juga bergerak dan tidak menyahut pula. Ketika kata-katanya tidak mendapat sambutan, kembali Pandan Alas berkata "Pasingsingan, kau jangan takut aku akan maju bersama kedua anak-anak itu. Sebenarnya aku merasa kurangperlu untuk mempergunakan pisau dapur yang tak berharga ini untuk melawanmu, tetapi aku tidak ingin merendahkanmu, sehingga terpaksa aku mempergunakannya juga. Meskipun demikian baiklah aku katakan kepadamu, bahwa mungkin karena kau sama sekali tak menghargai masa lampaumu itulah maka terasa ilmumu mengalami kemunduran."Mendengar kata Ki Ageng Pandan Alas itu tampaklah tubuh Pasingsingan bergetar serta tangannya yang memegang pusaka itu menggigil hebat. Ia sama sekali tidak menjawab, tetapi terdengar ia menggeram hebat untuk menahan marahnya. Meskipun demikian Pasingsingan masih tidak bergerak dari Ki Ageng Pandan Alas berkata; "Gajah Sora dan Mahesa, kenapa kalian datang kemari ?. , tak usahlah kalian menonton orang tua bermain-main. Barangkali bagi kalian lebih baik apabila kalian kembali dan menjaga kedua keris itu."Mendengar kata Ki Ageng Pandan Alas tergetarlah dada Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Mereka segera teringat kepada kedua pusaka yang hilang itu. Maka jawab Gajah Sora "Ki Ageng, ketika aku pulang tadi, aku masih sempat menyaksikan pusaka itu dicuri oleh Pasingsingan, tetapi aku sama sekali tak berdaya untuk menahannya."Kata-kata itu menggelegar seperti guruh yang meledak diatas kepala Ki Ageng Pandan Alas dan Pasingsingan, sehingga Ki Ageng Pandan Alas terloncat maju mendekati Gajah Sora sambil berteriak; "apa katamu? kedua pusaka itu hilang diambil Pasingsingan ?."Belum lagi Gajah Sora menjawab terdengar Pasingsingan menyahut; "Gila, kau jangan mencoba memutar balikkan keadaan. Tipu muslihat yang tak berharga itu jangan kau pamerkan dihadapanku, supaya aku tidak lagi berusaha untuk mendapatkan pusaka dari tanganmu."Maka terdengarlah Gajah Sora berkata, "Ki Ageng Pandan Alas, aku berkata sebenarnya bahwa kedua keris itu telah hilang.""Tidak mungkin," potong Ki Ageng Pandan Alas. "Pasingsingan sejak kau meninggalkan kami masih tetap bersama dengan aku."Gajah Sora menjadi ragu sebentar. Memang tidak mungkinlah bahwa Pasingsingan yang sedang bertempur dengan Ki Ageng Pandan Alas dapat mengambil kedua keris itu. Karena itu katanya kemudian dengan jujur, "Ki Ageng, aku tidak dapat memastikan dengan jelas siapakah yang telah mengambil kedua keris itu. Tetapi aku dapat melihat bahwa orang itu memakai jubah abu-abu pula tepat seperti apa yang dipakai oleh Pasingsingan itu.""Apakah orang itu berkedok pula ?," tanya Pandan Alas. "Itulah yang tidak jelas," jawab Gajah Ageng Pandan Alas tampak merenung. Rupa-rupanya ia seding berfikir keras apakah kira-kira yang telah terdengarlah Pasingsingan berkata, "Aku dapat mempercayai omonganmu Gajah Sora. Tampaknya kau memang tidak bermaksud membohongi kami. Dan rupa- rupanya karena itu pula kau menyerang aku dengan tombakmu. Nah kalau demikian aku tidak perlu terlalu lama lagi berada disini, sebab kedua keris yang aku kehendaki itu sudah tidak ada lagi. Tak ada gunanya lagi bagiku untuk melayani orang gila macam Pandan Alas. Tetapi meskipun demikian sekali waktu aku ingin bertemu dengan kau kembali."Pasingsingan tidak menunggu jawaban lagi. Dalam waktu sekejap ia telah hilang dari pandangan tinggallah kini Ki Ageng Pandan Alas, Gajah Sora dan Mahesa Jenar yang telah maju pula mendekati Gajah Sora, serta kemudian bersama-sama meloncat dari punggung kuda masing-masing.“Mahesa Jenar...,” kata Ki Ageng Pandan Alas, “aku berharap sekali bahwa aku atau kau berdua dapat menyerahkan kembali pusaka-pusaka itu ke Istana Demak. Tetapi rupa- rupanya keadaan belum mengizinkan.”Gajah Sora dan Mahesa Jenar tidak menjawab sepatah kata pun. Mereka berdua merasa bahwa mereka ternyata tak dapat memenuhi keinginan orang-orang bahwa Ki Ageng Pandan Alas terguncang pula hatinya. Kepalanya tertunduk dalam-dalam serta beberapa kali ia menghela nafas panjang. Sementara itu dari arah utara tampaklah sebuah bayangan yang seolah-olah melayang di udara mendekati mereka bertiga yang berdiri terpaku diantara kedua batang ringin kurung yang masih saja acuh tak acuh pada keadaan di bahwa yang datang itu adalah Ki Ageng Sora Dipayana. Ketika dilihatnya bahwa Ki Ageng Pandan Alas berada di situ pula, maka segera ia menyapanya, “Assalamualaikum Adi Pandan Alas, apakah yang telah terjadi di sini?”Gajah Sora dan Mahesa Jenar segera membungkuk hormat. Namun dalam dada mereka terasa bahwa jantung mereka berdenyut semakin Salam, Kakang, jawab Pandan Alas. Aku baru saja bermain-main di sini bersama Pasingsingan.”“Pasingsingan...?” ulang Sora Dipayana sambil mengerutkan keningnya. “Rupa-rupanya ia datang bersama muridnya Lawa Ijo.”“Rupa-rupanya orang itu benar-benar menginginkan kedua pusaka Demak yang disimpan oleh putramu,” jawab Ki Ageng Pandan Alas. “Tidak hanya Pasingsingan,” jawab Sora Dipayana. “Untunglah bahwa Adi berada pula di sini, sebab aku tadi sedang sibuk melayani tamu dari Lodaya.”“Sima Rodra?” potong Pandan Alas.“Ya, ia datang bersama menantunya, dengan maksud yang sama.”“Hebat..., hebat sekali,” desis Pandan Alas. “Setan dari Lodaya itu memerlukan datang pula.””Tetapi...“ sambung Pandan Alas setengah berbisik, “tanyakanlah kepada putramu apa yang telah terjadi.”Tampaklah Ki Ageng Sora Dipayana menarik alisnya sehingga hampir bertemu.“Ada apa Gajah Sora...? Agaknya telah terjadi sesuatu?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana kepada Gajah segera Gajah Sora menceriterakan tentang apa yang telah dilihatnya pada saat lenyapnya Nagasasra dan Sabuk Inten dari keterangan Gajah Sora, hati Ki Ageng Sora Dipayana terguncang hebat, sampai tubuhnya menggigil. Wajahnya yang bening itu segera menjadi seolah-olah diaduk oleh kemarahannya.“Setan manakah yang telah mengganggu kami itu?” geramnya.“Adi Pandan Alas...” katanya kemudian, “bukankah kau tidak melepaskan Pasingsingan itu barang sekejap?”“Tidak, Kakang,” jawab Pandan Alas. “Ia tetap dalam pengawasanku.”Kembali keadaan menjadi sunyi. Kesunyian yang tegang. Masing-masing dikuasai oleh perasaan yang bercampur baur diantara marah, kesal dan berkatalah Ki Ageng Sora Dipayana, “Gajah Sora dan Mahesa Jenar... memang apa yang terjadi adalah diluar kemampuanmu berdua. Apalagi kalian, kami yang tua-tua inipun menjadi pusing karenanya. Mungkin ada sesuatu yang tak beres pada Pasingsingan itu. Bukankah begitu Adi Pandan Alas?”Pandan Alas mengangguk mengiyakan. Lalu ia berkata, “Aku menjadi sulit untuk mengatakan tentang Pasingsingan. Rasa-rasanya memang ada sesuatu yang tidak wajar. Meskipun demikian aku masih belum berani meyakinkan bahwa ada lebih dari satu Pasingsingan.”Kalau begitu marilah kita lihat rumah itu, ajak Sora Dipayana. Barangkali ada sesuatu yang dapat menunjukkan tanda-tanda siapakah yang telah mengambil kedua keris segera berangkatlah mereka menuju ke rumah Gajah Sora, setelah Gajah Sora memungut kembali pusakanya. Mereka menjadi terkejut ketika mereka melihat kesibukan yang luar biasa. Segera mereka meloncat lebih cepat untuk segera dapat mengetahui apakah yang telah terjadi. Ternyata di Pringgitan, mereka melihat Wanamerta dan Sawungrana menggeletak tak sadarkan diri, sedang di sudut yang lain Panjawi yang luka parah menggeletak tak berdaya. Ketika mereka melangkah memasuki bagian dalam rumah Gajah Sora, mereka melihat Nyai Ageng Gajah Sora duduk bersimpuh, sedang di pangkuannya terletak kepala Arya yang masih kejadian itu semua, kembali Gajah Sora tergugah kemarahannya. Tetapi ia tidak mampu berbuat apa-apa, sehingga karena itu giginya terdengar gemeretak dan nafasnya berjalan semakin ketika Sora Dipayana menyaksikan kejadian itu, hatinya tergetar wajahnya nampak tenang-tenang Sora Dipayana membungkuk, meraba dada Arya dan meneliti bagian-bagian tubuhnya yang lain. Dari ceritera Gajah Sora, ia sudah tahu apakah yang menyebabkan Arya luka-luka. Tetapi tentang Wanamerta, Sawungrana, Panjawi serta beberapa orang pengawal yang lain, belumlah depan ruang tidur Gajah Sora masih menggeletak sesosok tubuh yang masih belum dikenal. “Apakah yang sudah terjadi dengan Paman Wanamerta dan yang lain-lain?”Tiba-tiba terdengar suara Gajah Sora Gajah Sora menjawab, “Ketika aku mendengar ribut-ribut... aku waktu itu sedang mengatur orang-orang yang mengungsi ke rumah ini di belakang, segera aku berlari masuk. Aku sudah tidak sempat menjumpai Kakang Gajah Sora dan Adi Mahesa Jenar yang katanya sedang mengejar seseorang berjubah abu-abu yang mencuri kedua pusaka simpanan Kakang. Tetapi tidak beberapa lama, muncullah begitu tiba-tiba saja di hadapan kami. Aku, Paman Wanamerta dan Paman Sawungrana. Seorang yang pendek bongkok dan berwajah menakutkan, seolah-olah ia pernah mengalami suatu penyakit yang mengerikan. Orang itu datang kemari juga untuk mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Paman Wanamerta menyatakan bahwa ia tidak tahu-menahu kedua keris itu, serta menceriterakan dengan betul apa yang sudah terjadi. Tetapi rupa-rupanya orang itu tidak percaya, sehingga terjadilah pertempuran antara orang itu seorang melawan Paman Wanamerta berdua dengan Paman Sawungrana yang kemudian dibantu juga oleh Panjawi dan beberapa orang. Tetapi ternyata bahwa dengan mudahnya orang itu dapat mengalahkan mereka. Lalu langsung dibongkarnya segala barang-barang yang ada di rumah ini untuk mendapatkan kedua keris itu. Baru setelah ia yakin benar-benar bahwa kedua keris itu tak dapat diketemukan, maka seperti pada saat ia datang, segera ia pun lenyap.” Mendengar ceritera itu betapa terkejutnya Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Orang itu pasti seorang yang mempunyai ilmu yang tinggi pula. Tetapi terlebih-lebih lagi adalah Sora Dipayana dan Pandan Alas, sehingga nampaklah wajah mereka berubah. Kedua orang itu hampir bersama-sama menyebutkan suatu nama yang cukup Bugel Kaliki dari Gunung nama itu disebut, barulah Gajah Sora dan Mahesa Jenar sadar betapa berbahayanya orang itu. Ia pernah mendengar nama Bugel Kaliki dari lembah Gunung Cerme itu dari mulut seorang sakti dari Banyuwangi, Titis Anganten. Dalam sekejap itu tiba-tiba kesunyian mencengkam suasana. Yang terdengar hanyalah tarikan nafas mereka yang dengan tegang membayangkan apakah kira-kira yang telah hantu itu telah mendengar pula tentang Kyai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten. Akhirnya terdengar Ki Ageng Pandan Alas berkata perlahan.“Keadaan telah menjadi sedemikian rumit serta saling berkait,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana, “mengenai Bugel itu, sudah jelas, sambung Ki Ageng Pandan Alas. Dan ia tidak mendapatkan apa yang dicari setelah dengan leluasa ia menggeledah setiap sudut di dalam rumah ini. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa ia tidak akan kembali lagi kemari. Tetapi ia akan mencari di tempat-tempat lain. Yang belum kita ketahui, justru yang berhasil membawa kedua pusaka itu, seorang yang berjubah abu-abu seperti jubah yang selalu dipakai oleh Pasingsingan.”Alis Ki Ageng Sora Dipayana yang sudah putih itu tampak bergerak-gerak. Rupa- rupanya ia pun sedang berpikir hebat. Akhirnya terdengarlah ia berkata, “Gajah Sora dan Mahesa Jenar..., rupa-rupanya belum saatnya aku yang tua-tua ini menghabiskan sisa hidup kami untuk menikmati ketenteraman. Rupa-rupanya kini kami tidak dapat tinggal diam, menyendiri di puncak-puncak bukit. Aku tahu bahwa kau tentu bingung mengalami peristiwa-peristiwa ini. Jangan cemas, sebab kami pun telah pula menjadi bingung.”Ki Ageng Pandan Alas tersenyum mendengar kata-kata sahabatnya. “Jadi kalian mempunyai kawan-kawan yang cukup banyak dalam kebingungan kalian,” sambungnya.“Akh... kau badut tua,” potong Sora Dipayana.“Maksudku, kami pun menjadi bingung, apalagi kalian, yang masih muda-muda. Nah, sekarang Gajah Sora... kau dapat mengundang Ki Lemah Telasih. Suruhlah orang itu mengobati anakmu dan orang-orangmu yang luka parah. Aku yakin bahwa luka-luka anakmu dan orang-orang itu tidak akan sampai membahayakan jiwanya di tangan Ki Lemah Telasih. Sekarang aku kira justru Banyubiru ini dapat aku tinggal dengan aman setelah kedua keris itu lenyap. Tetapi percayalah bahwa kepergianku itu merupakan suatu usaha untuk menemukannya pula,” sambung Sora Sora menundukkan kepalanya. Kemudian terdengarlah ia menjawab dengan suara yang dalam dan gemetar, “Ayah..., maafkan aku yang sudah setua ini masih saja selalu mengganggu ketenteraman hidup ayah. Tetapi hal ini adalah benar-benar diluar kemampuanku.”Terdengarlah Ki Ageng Sora Dipayana tertawa pendek. “Jangan salahkan dirimu. Akulah yang tidak mampu menjadikan kau orang yang luar biasa. Tak apalah. Sekarang biarlah aku pergi dengan Adi Pandan Alas. Mungkin arah kita berbeda, tetapi tujuan kita adalah sama. Menemukan kedua keris itu kembali, sebab permainan ini sudah mulai dicampuri pula oleh orang-orang tua.”Gajah Sora tidak dapat menjawab kata-kata ayahnya. Ia menjadi terharu sekali. Sebaliknya Mahesa Jenar merasakan betapa sepi hidupnya sepeninggal gurunya. Tak ada lagi orang yang akan menjadi tempat mengadu dan mohon pertolongan. Meskipun ia merasa bahwa sebagai seorang laki-laki dirinyalah tempat untuk mengadu. Serta pada dirinya itu pulalah kepercayaan yang terakhir harus kenyataan itu, dirasakan betapa pahitnya hidup Mahesa Jenar sebatang kara, diantara manusia-manusia perkasa yang dalam setiap saat memungkinkan adanya bentrokan-bentrokan yang hanya dapat diselesaikan dengan mengadu hati Mahesa Jenar agak terhibur juga melihat adanya orang-orang tua seperti Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana dan Titis Anganten yang sudah pernah dirasakan betapa persahabatan mereka dengan gurunya melimpah pula kepada kemudian terdengarlah Ki Ageng Pandan Alas berkata, “Gajah Sora dan Mahesa Jenar..., aku sependapat dengan Kakang Sora Dipayana. Sebab berhadapan dengan orang- orang tua macam Sima Rodra, Pasingsingan, Bugel Kaliki, harus orang-orang tua pulalah yang melayaninya. Meskipun bagi kami sebenarnya lebih senang minum-minum sambil mengunyah jadah jenang alot. Bukan begitu, Kakang?”Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum, lalu jawabnya, “Begitulah kira-kira. Dan sekarang, marilah kita mulai kehidupan kita seperti beberapa puluh tahun yang lalu. Seperti seekor burung yang lepas di udara, hinggap dari satu dahan ke lain dahan, dari satu cabang ke lain cabang.”“Tetapi aku tak akan sebebas dahulu, sahut Ki Ageng Pandan Alas. Sebab aku sekarang mempunyai seorang murid. Akan aku bawa muridku itu untuk menambah pengalamannya.”“Murid...?” potong Ki Ageng Sora Dipayana.“Ya, muridku seorang pemuda tampan yang masih seperti batu pecahan,” jawab Pandan Alas, “dan aku harus mengasahnya sejak gosokan yang pertama. Untunglah bahwa ia memiliki bakat yang baik.”Setelah mengadakan beberapa persiapan dan pesan-pesan, Ki Ageng Sora Dipayana dan Ki Ageng Pandan Alas segera minta diri untuk memulai penghidupan dalam pengembaraan yang kedua sejak mereka menghentikan pengembaraan mereka pada masa muda tidak perlu lagi menunggu sampai esok atau lusa. Sebab bagi seorang pengembara, siang atau malam sama saja. Gajah Sora suami- istri dan Mahesa Jenar melepas mereka dengan perasaan yang berat dan terharu. Orang-orang tua yang seharusnya tinggal menikmati hasil lelah masa mudanya, masih harus bekerja keras untuk kesejahteraan umat manusia.“Tak ada yang membatasi umur kita untuk berjuang,” kata Ki Ageng Sora Dipayana ketika ia melangkah keluar gerbang halaman. Yang disambung oleh Ki Ageng Pandan Alas, “He, Mahesa Jenar, adakah kau dahulu memenuhi permintaanku? Menunggu sampai jagungku tua? Kalau begitu aku akan singgah dahulu ke sana untuk menikmati dua tiga buah jagung bakar.”Belum lagi Mahesa Jenar menjawab, seperti terbang Ki Ageng Pandan Alas segera lenyap di gelap malam. Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum melihat tingkah laku sahabatnya itu. Memang Adi Pandan Alas dalam keadaan yang bagaimanapun juga, tetap saja dapat tertawa. Dengan begitu, rupa-rupanya ia akan panjang umur, kata Ki Ageng Sora Dipayana.“Nah Gajah Sora dan Mahesa Jenar, hati-hatilah dengan pekerjaanmu masing-masing. Mudah-mudahan semuanya selamat dan baik. Biarlah aku pergi sekarang,” sambung Ki Ageng kepada Gajah Sora dan Mahesa Sora dan Mahesa Jenar bersama-sama mengangguk hormat dan mengucapkan selamat jalan. Maka berangkatlah Ki Ageng Sora Dipayana ke arah yang bertentangan dengan Ki Ageng Pandan Alas. Orang tua itu melangkah perlahan-lahan seperti orang yang sedang berjalan-jalan menghirup kesejukan udara Ki Ageng Sora Dipayana lenyap dari pandangan mereka, dan tenggelam dalam kehitaman malam, segera Gajah Sora dan Mahesa Jenar masuk kembali ke dalam rumah. Dilihatnya di sana Ki Lemah Telasih telah datang dan telah mencoba mengobati Aria Salaka, Wanamerta, Sawungrana, Penjawi dan orang-orang yang terluka, dengan ramuan dedaunan, dan dengan memijat-mijat berusaha mengembalikan urat-urat yang salah Lemah Telasih tampaknya masih agak lebih muda dari Ki Asem Gede, tetapi tubuhnya jauh lebih besar dan lebih tinggi. Hanya matanya sajalah yang mirip benar dengan Ki Asem Gede, sejuk dan cekatan ia merawat orang-orang yang terluka itu berganti-ganti, sehingga beberapa saat kemudian semua telah diobatinya dan dibaringkannya di tempat yang Gajah Sora masih saja merenungi putranya yang terbaring di bale-bale tempat tidur ayahnya dengan tanpa bergerak. Sedang di mata Nyi Ageng Gajah Sora itu kadang- kadang masih tampak butiran-butiran air mata yang satu-satu menetes memercikkan kesedihan hatinya. Tetapi karena kepandaian Ki Lemah Telasih, nafas Arya Salaka telah mulai berjalan teratur dan detak jantungnya sudah mulai berjalan Sora dan Mahesa Jenar duduk berdiam diri sebelah-menyebelah dari ruang tidur tempat Arya terbaring. Wajah-wajah mereka tampak suram serta pandangan mereka seakan-akan jauh menembus lantai kelam yang tak menjadi sepi. Di kejauhan terdengar semakin jelas gonggongan anjing-anjing liar bersahut-sahutan, seolah-olah mereka berkata bahwa malam adalah milik malam yang mencengkam itu kemudian dipecahkan oleh suara Ki Lemah Telasih. “Ki Ageng, luka-luka Ananda Arya tidaklah begitu berat. Mudah-mudahan atas kemurahan Allah Yang Maha Kuasa, dalam waktu yang singkat luka itu akan segera sembuh kembali.”Gajah Sora menoleh perlahan-lahan ke arah Ki Lemah Telasih. “Syukurlah, Kakang. Mudah-mudahan Allah SWT memperkenankan. Lalu bagaimana dengan Paman Wanamerta, Sawungrana, Penjawi dan lain-lain?”Tampaknya luka-luka mereka pun akan dapat Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun bagaimanapun, hilangnya Nagasasra dan Sabuk Inten telah merupakan suatu lecutan pedih yang tak akan pernah tanpa disengaja, pandangan mata Gajah Sora terlempar ke arah sesosok tubuh yang masih belum ada seorang pun yang berani mengubah letaknya, yang menggeletak di muka ruang tidur Gajah Sora. Seketika itu dadanya menggelora kembali, tetapi dicobanya untuk menenangkan dirinya. Perlahan-lahan ia berdiri dan memeriksa mayat yang masih belum berkisar sama sekali itu. Tetapi pada mayat itu sama sekali tak dijumpainya tanda- tanda apapun yang dapat memberi petunjuk tentang peristiwa yang baru saja terjadi. Karena itu ia pun segera duduk di dalam rumah itu kembali dikuasai oleh kesepian yang menekan, tetapi didalam setiap dada orang-orang yang berada di dalam rumah itu bergulatlah perasaan- perasaan yang simpang kesepian malam, di sela-sela gonggong anjing-anjing liar dan pekik burung- burung malam, lamat-lamat terdengarlah derap kaki kuda yang menderu-deru, semakin lama semakin dekat. Mahesa Jenar dan Gajah Sora segera mengangkat kepalanya untuk mengetahui dari manakah datangnya suara-suara itu ternyata adalah suara derap dari berpuluh-puluh ekor kuda. Tetapi karena sampai beberapa lama masih tidak terdengar tanda apapun, maka tahulah mereka bahwa rombongan itu pasti bukanlah rombongan dari orang-orang yang menyerang Banyubiru. Dan apa yang diduganya adalah benar. Rombongan itu adalah rombongan dari Laskar Banyubiru yang telah berhasil mengusir laskar-laskar yang menyerbu daerah mereka. Diantara mereka adalah Ki Ageng Lembu Sora, Pandan Kuning, dan tokoh-tokoh di halaman rumah Gajah Sora, segera mereka turun dari kuda masing-masing. Dengan wajah berseri-seri mereka segera masuk. Tetapi demikian mereka melangkah masuk, segera mereka menjadi terkejut dan bertanya-tanya. Di hadapan mereka terkapar sesosok mayat, sedang di bale-bale di sisi-sisi ruangan itu terbaring pula Wanamerta, Sawungrana, Panjawi dan beberapa orang lagi.“Apakah yang terjadi di rumah ini, Anakmas?” tanya Pandan Kuning gugup.”Beberapa orang telah datang ke rumah ini dan mengaduk segala isinya,” jawab Gajah Sora ketika melihat orang yang terbaring di depan ruang tidur Gajah Sora itu, menjadi terkejut. Wajahnya segera berubah. Tetapi sebentar kemudian ia telah berhasil menguasai dirinya kembali. Meskipun demikian segera ia melangkah masuk, langsung menuju ke arah mayat yang masih terkapar itu. Dengan kakinya ia menggerak-gerakkan tubuh itu dan membalikkannya sehingga mayat itu Lembu Sora mencoba menahan hatinya, Mahesa Jenar dapat menangkap suatu kesan yang aneh pada wajah Lembu Sora itu.“Siapakah orang ini, Kakang?” tanya Lembu Sora kepada Gajah Sora sama sekali tidak memperhatikan wajah adiknya sehingga tak suatu pun dapat ditangkap dari kelakuan Lembu Sora, yang menurut tangkapan Mahesa Jenar agak kurang wajar.“Entahlah, Adik,” jawab Gajah Sora. “Ia termasuk salah seorang dari tiga orang yang telah memasuki rumah ini.”“Tiga orang?” ulang Lembu Sora terkejut.“Ya, tiga orang. Dan satu dapat dibinasakan. Dialah orangnya yang tak beruntung, dapat dibunuh oleh Arya dengan tombak pusaka Kiai Bancak,” sambung Gajah Sora.“Arya dapat membunuh orang ini?”Agaknya, bagi Lembu Sora sangatlah mustahil bahwa Arya dapat berbuat demikian. Gajah Sora mengangguk mengiyakan. “Siapakah yang dua lagi?” tanya Lembu Sora lebih lanjut.“Yang kedua, aku tidak tahu, Sedang yang ketiga adalah Bugel Kaliki.” “Bugel Kaliki...? Siapakah orang itu?” tanya Lembu Gajah Sora dengan agak segan-segan terpaksa menceriterakan tentang kedatangan tokoh-tokoh sakti ke dalam rumah ini.“Adakah salah seorang dari mereka berhasil mengambil Nagasasra dan Sabuk Inten?” tanya Lembu Sora lebih lanjut.“Orang kedua yang tak kukenal itulah yang membawanya,” jawab Gajah jawaban itu, wajah Lembu Sora berubah menjadi merah membara. Tubuhnya gemetar serta giginya gemeretak. Rupa-rupanya ia pun marah sekali akan hilangnya kedua pusaka simpanan kakaknya dalam tanggapan Mahesa Jenar, sama sekali bukanlah demikian. Bagaimanapun ia sudah mempunyai prasangka yang tidak baik terhadap Lembu Sora.“Tidakkah Kakang dapat mencurigai seseorang?” kata Lembu Sora kata-kata adiknya itu Gajah Sora terkejut. Ia tidak tahu maksud kata-kata itu. Melihat kesan itu, Lembu Sora menyambung, “Kakang.., aku percaya akan kesetiaan rakyat Banyubiru terhadap Kakang, sehingga tidaklah mungkin mereka mau mengkhianati Kakang. Tetapi ternyata keris itu lenyap juga, meskipun menilik cara penjagaan halaman ini adalah tidak mungkin sama sekali, kecuali orang macam Bugel Kaliki. Tetapi barangkali Kakang lupa, bahwa diantara rakyat Banyubiru yang setia ini, di dalam rumah ini terdapat orang lain.”Kata-kata yang diucapkan dengan tegas itu terdengar di telinga Mahesa Jenar seperti petir yang meledak di Jenar adalah bekas seorang prajurit yang berwatak ksatria serta benar-benar seorang laki-laki jantan. Ia sendiri sangat membenci sifat-sifat licik dan didengarnya lewat telinganya sendiri, seseorang memfitnahnya, menuduhnya berbuat curang dan pengkhianatan terhadap Gajah Sora, yang meskipun belum begitu lama dikenalnya, tetapi karena sifat-sifatnya serta persamaan tujuan, maka orang itu sudah dianggapnya lebih dari seorang sahabat Mahesa Jenar segera bergolak. Dadanya tiba-tiba merasa sesak oleh desakan kemarahan. Untunglah bahwa masih diingatnya bahwa di ruangan itu terbaring beberapa orang yang terluka serta di dalam ruang sebelah putera Gajah Sora masih juga belum sadarkan diri. Karena itu sekuat-kuatnya ia masih mencoba menguasai dirinya. “Adi Lembu Sora...,kau jangan terlalu cepat mengemukakan pendapat sebelum kau pikirkan masak-masak untung-ruginya. Sudah aku katakan bahwa aku sendiri dapat melihat orangnya yang mengambil pusaka-pusaka itu. Jadi kalau benar dugaanmu pasti akulah orangnya yang pertama-tama akan bertindak.”Rupa-rupanya Lembu Sora masih belum puas mendengar jawaban kakaknya, maka ia menyahut, “Untuk melakukan pekerjaan itu, tidaklah perlu harus ditangani sendiri. Tetapi adanya seorang asing di dalam halaman ini, telah merupakan suatu kemungkinan untuk menuntun datangnya orang kedua, ketiga dan seterusnya. Sebab segala sesuatu telah dapat dipersiapkannya dengan saksama.”Jantung Mahesa Jenar rasa-rasanya hampir meledak mendengar kata-kata itu. Tetapi ketika ia melihat Gajah Sora telah berdiri dari duduknya, ia masih mencoba sekuat- kuatnya menahan diri.“Sudahlah, Adi Lembu Sora, pendapatmu baik aku perhatikan. Tetapi biarlah aku yang memutuskan.”“Tidak, Kakang... Mumpung sekarang kita sedang lengkap di hadapan Kakang, siap untuk menghukum siapapun yang mencoba untuk mengganggu ketenangan Banyubiru, meskipun ia adalah bekas sahabat Kakang sendiri. Adakah Kakang yakin bahwa orang itu sama sekali tak ada hubungannya dengan orang-orang yang menyerang Banyubiru?”Kembali Lembu Sora melanjutkan hasutannya, “Kakang Gajah Sora, paman Pandan Kuning, Bantaran Wirapati dan lain-lainnya telah bertempur dengan gagah perkasa mengusik laskar penyerbu itu. Dan sekarang di sini mereka harus menyaksikan seorang diantara penjahat-penjahat itu, yang mungkin lebih licik dan licin mendapat perlindungan dari Kakang. Apakah ”“Cukup! Kau jangan mengurus aku, Lembu Sora. Aku senang sekali bahwa kau mencoba ikut serta memecahkan kesulitan-kesulitan yang aku alami. Tetapi janganlah kau memaksakan suatu pendapat yang belum dapat diyakinkan kebenarannya. Menghukum seseorang bukanlah suatu pekerjaan yang dapat dilakukan begitu saja tanpa bukti-bukti akan kesalahannya. Karena itu sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas perhatianmu itu, tetapi sebaiknya kau beristirahat di tempat yang sudah kami sediakan.”“Paman Pandan Kuning...,” kata Lembu Sora seolah-olah tidak mendengar kata-kata kakaknya, “... dan paman-paman yang lain serta para perwira di Banyubiru Dapatkahkalian membiarkan orang yang berkedok persahabatan ini mengkhianati kepala daerah kalian? Hilangnya kedua pusaka itu adalah suatu pengkhianatan yang tiada taranya dalam sejarah Banyubiru, sejak ayah Sora Dipayana masih memegang pemerintahan di Pangrantunan. Tetapi ternyata Kakang Gajah Sora adalah seorang yang terlalu luhur budi dan pengasih, sehingga ia tidak sampai hati untuk bertindak terhadap seorang yang menamakan diri sahabatnya, nah, para pahlawan, sekarang adalah waktunya bagi kalian untuk menunjukkan bakti kalian terhadap kepala daerah kalian serta daerah kelahiran kalian,” tambah Lembu kata-kata Lembu Sora yang diucapkan dengan berapi-api itu, ternyata hebat sekali. Mereka yang disebutnya pahlawan yang mempunyai kesempatan untuk berbakti itu, tiba-tiba menjadi lupa diri. Beberapa orang telah bergerak untuk menangkap Mahesa Jenar. Sedangkan Lembu Sora sendiri segera menarik pedangnya yang besar sekali, dan siap Mahesa Jenar sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Banyak hal yang akan dikatakan untuk menyatakan kebersihannya serta banyak hal lagi yang dapat dikatakan pula tentang ketidakwajaran Lembu Sora. Tetapi terdorong oleh kemarahan yang memuncak maka bibirnya hanyalah tampak bergetar tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Apalagi ketika ia melihat Lembu Sora telah menarik pedangnya, maka tidak ada pilihan lain kecuali bertempur Mahesa Jenar memusatkan segala kekuatan lahir batin, mengatur jalan pernafasannya dan siap untuk mempergunakan Sasra Birawa dalam pukulan yang pertama. Sebab ia tidak mau menanggung akibatnya apabila Lembu Sora telah memiliki aji Lebur Seketi seperti kakaknya. Maka sebagai seekor banteng murka, ia cepat berdiri dan bersiap menghadapi segala ketika Lembu Sora beserta beberapa orang yang berotak kosong serta hanya berpikir pendek untuk dapat disebut sebagai seorang pahlawan tanpa menilik masalahnya lebih dalam lagi, mulai bergerak. Tampaklah dengan kecepatan kilat Gajah Sora meloncat maju ke depan adiknya beserta orang-orang wajah merah membara, Gajah Sora berteriak dengan penuh kemarahan, “Hai orang-orang Banyubiru, akulah kepala daerah perdikan di sini. Kalau kalian maju selangkah lagi, kalian akan berhadapan dengan aku.”Lontaran suara yang penuh dengan perasaan marah itu terdengar dahsyat sekali. Beberapa orang yang telah bergerak seperti orang mabuk itu, tiba-tiba seperti terlempar kembali ke alam kesadaran. Mereka sebenarnya adalah orang-orang yang dengan penuh kebaktian dan kesetiaan mengabdikan diri mereka kepada tanah kelahiran serta kepala daerah perdikan karena itu pulalah dengan mempergunakan kesadaran akan kesetiaan itulah maka mereka kadang-kadang dapat dengan mudah digelincirkan ke dalam suatu perbuatan yang salah, yang justru bertentangan dengan kesetiaan mereka sendiri tanpa sesadar tiba-tiba pemimpin yang ditakuti, disegani dan dicintai itu seolah-olah telah menantang mereka. Maka tidaklah mustahil bahwa beberapa orang kemudian menjadi gemetar ketakutan seperti seekor tikus di tangan seekor kucing yang Sora, bagaimanapun angkuhnya, ketika melihat kakaknya benar-benar telah marah, dan benar-benar tidak termakan oleh hasutan-hasutannya itu pun menjadi agak takut pula. Sebab ia tahu betul akan sifat-sifat Gajah Sora. Meskipun dalam banyak hal Gajah Sora selalu mencoba untuk mengalah terhadap adik kesayangan ibunya itu. Tetapi apabila ia telah menentukan suatu sikap, tak seorang pun mampu itu dengan kecewa dan menyesal, Lembu Sora mundur beberapa langkah. Lalu katanya.“Maafkan aku, Kakang. Maksudku adalah baik, untuk kepentingan masa datang Kakang dan kesan yang teguh atas kepemimpinan Kakang. Tetapi agaknya Kakang salah terima”“Sarungkan senjata itu, perintah Gajah Sora.”Sekali lagi Lembu Sora tak berani melawan perintah kakaknya. Dengan segera pedangnya itu disarungkannya tegang itu kemudian untuk beberapa saat menjadi semakin tegang. Tak seorangpun yang berani bergerak, meskipun hanya jari kakinya. Bernafaspun mereka menjadi berhati-hati sekali, seolah-olah takut kalau-kalau bunyi nafasnya dapat menambah kemarahan Gajah Sora.“Lembu Sora...,” kembali terdengar suara Gajah Sora. Tetapi kali ini terasa bahwa kemarahannya telah menurun. Bagaimanapun ia adalah seorang kepala daerah yang bijaksana. Maka sekali ini pun ia menunjukkan kebijaksanaannya.“Baiklah... kau beritirahat,” sambung Gajah Sora, “mungkin kau terlalu lelah sehingga pikiranmu tak dapat berjalan dengan baik. Juga kalian laskar Banyubiru, aku persilahkan meninggalkan ruangan ini untuk mengaso. Setelah kalian bertempur untuk mempertahankan tanah ini, mungkin sekali otak kalian pun agak terganggu. Tetapi tak apalah Sekarang pergilah.”Tak seorangpun mengucapkan sepatah kata. Dengan kepala tunduk, mereka berjalan berebutan untuk lebih dahulu meninggalkan ruangan yang rasa-rasanya menjadi panas sekali. Demikian mereka sampai di halaman, segera mereka meloncat ke atas kuda segera kuda-kuda itu dipacu pulang ke rumah masing-masing untuk menyatakan keselamatan mereka kepada keluarga mereka masing-masing yang menanti dengan hati cemas. Sedang beberapa orang lagi bertugas untuk merawat kawan-kawan mereka yang gugur, dan yang terluka pun segera dengan tekun melakukan tugas Sora pun segera mengundurkan diri bersama-sama dengan para pengiringnya, ke tempat yang sudah disediakan, di gandok sebelah mereka, di dalam ruangan itu tinggalah Gajah Sora, Mahesa Jenar, Ki Lemah Telasih, dan orang-orang yang terluka. Mereka duduk tepekur tanpa berkata-kata. Angan-angan mereka mengalir menuruti pikiran masing-masing. Suasana segera menjadi hening. Kembali terdengar di kejauhan gonggong anjing-anjing liar berebut makanan. Sedang di ruang itu beberapa orang duduk seperti patung, kaku dan membisu. Tetapi perasaan mereka berputar seperti beberapa saat kemudian terdengar Gajah Sora berkata, “Adi Mahesa Jenar... maafkan kelakuan Lembu Sora beserta beberapa orangku yang sama sekali tidak percayalah bahwa orang-orangku sama sekali tak mempunyai pandangan yang kurang baik terhadap Adi. Sayang bahwa Lembu Sora telah menyeret mereka ke dalam suatu tindakan yang memalukan.”Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia sama sekali tidak akan dapat melupakan tuduhan pengkhianatan yang dilancarkan oleh Lembu Sora. Terhadap laskar Banyubiru, memang ia tidak menaruh banyak perhatian, sebab mereka hanya terpengaruh oleh hasutan-hasutan Lembu Sora saja. Namun, meskipun demikian, kepada Gajah Sora ia menjawab, “Sudahlah Kakang, mudah-mudahan aku dapat melupakannya. Aku harapkan bahwa Ki Ageng Lembu Sora tidak berbuat hal-hal yang dapat mengeruhkan Sora mengangguk-angguk kecil. Ia dapat merasakan sepenuhnya kekecewaan Mahesa Jenar terhadap adiknya. Karena itu ia berkata menyambung, Aku akan mencoba selalu mengawasi anak itu selama ia berada di Banyubiru. Mudah-mudahan ia segan meninggalkan rumah ini untuk tidak menambah mereka berdiam diri. Dan kembali keadaan ruangan itu menjadi sepi. Sepi dan kaku, seperti garis-garis lurus dari sambungan-sambungan papan gebyok rumah Gajah Sora yang pecah berserakan karena ditembus oleh Gajah Sora dan Mahesa Jenar bersama-sama. Kesepian itu tiba-tiba dipecahkan oleh suara rintih Arya Salaka dari dalam ruang tidur Gajah Sora. Mendengar suara itu, hampir bersamaan Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Ki Lemah Telasih meloncat, mendekati Arya. Wajah Gajah Sora yang suram itu segera berubah, karena tumbuhnya harapan yang semakin besar, bahwa Arya Salaka akan segera dapat sadar mereka bersama-sama memasuki ruangan itu, mereka melihat Arya sudah mulai menggerakkan kepalanya, dan perlahan-lahan matanya mulai terbuka. Terdengarlah dari mulutnya ia merintih dan akhirnya terdengar Arya perlahan-lahan sekali menangis, meskipun agaknya ia mencoba menahannya Arya Salaka yang melihat Arya mulai sadar, segera memeluknya dan menciuminya dengan penuh rasa kasih dari seorang ibu. Tetapi Ki Lemah Telasih sebagai seorang tabib segera mencoba mencegahnya. ”Nyai Ageng, biarlah Ananda Arya bebas bernafas dahulu, supaya tubuhnya menjadi segar.” Wajah Gajah Sora pun segera menjadi cerah. Meskipun luka di hatinya dengan hilangnya kedua pusaka itu begitu dalam, namun Arya Salaka pun merupakan mutiara di hatinya yang tidak kalah Jenar yang sejak melihat Arya untuk pertama kali telah mengagumi anak itu, kini ia bertambah kagum lagi. Anak-anak yang masih pantas bermain gundu itu, andaikata tidak ada orang kedua, telah berhasil menggagalkan suatu usaha dari seorang yang tentu berilmu tinggi, dalam usahanya mencuri Kyai Nagasasra dan Sabuk asuhan Ki Ageng Gajah Sora, pastilah Arya kelak akan menjadi manusia yang mumpuni lahir dan batin. Apalagi andaikata kakeknya Ki Ageng Sora Dipayana juga mau kemudian Arya Salaka telah benar-benar sadar. Ia telah mulai mengenali orang- orang yang berdiri di sekitar tempat saat itu malam telah semakin jauh, bahkan ayam jantan telah mulai berkokok untuk ketiga kalinya, suatu pertanda bahwa sebentar lagi fajar akan Sora, Mahesa Jenar dan Ki Lemah Telasih pun segera meninggalkan Arya Salaka yang sudah mulai dapat tidur ditunggui oleh ibunya yang berbaring di sampingnya. Ki Lemah Telasih dan Mahesa Jenar kemudian meninggalkan ruangan itu pula untuk beristirahat. Ketika Mahesa Jenar turun dari pendapa untuk mengantarkan Ki Lemah Telasih sampai di gerbang halaman, tampaklah di timur sudah mulai membayang warna kemerah- merahan yang melapisi langit. Angin pagi yang sejuk menyapu wajah Mahesa Jenar yang masih tampak berminyak karena keringat yang berlapis demikian perasaan segar terasa menusuk sampai ke tulang ia berjalan ke gandok sebelah timur untuk beristirahat. Tetapi alangkah terkejutnya ketika ia memasuki ruang yang disediakan ruangan itu pun telah dibongkar dengan hal itu, Mahesa Jenar tertegun. Ia tiada tahu siapakah yang telah melakukan perbuatan itu, tetapi kejadian itu telah menyalakan kembali kemarahannya. Sayanglah bahwa Lembu Sora kebetulan adalah adik Gajah Sora. Kalau saja tidak ada hubungan antara kedua orang itu, sudah pasti bahwa ia akan membuat perhitungan secepat-cepatnya dengan Lembu Sora. Tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini, yang dapat dilakukannya hanyalah menyimpan kemarahannya itu di dalam dadanya yang menjadi dengan susah payah ia dapat meredakan gelora hatinya sendiri. Dan karena kelelahan, Mahesa Jenar kemudian merebahkan dirinya di atas pembaringan dan sejenak kemudian ia tertidur dengan nyenyaknya. Demikian nyenyaknya ia tidur, sehingga tidak terasa bahwa hari telah tinggi. Meskipun demikian masih saja ia belum bangun, apabila tidak didengarnya derap kuda di halaman. Ketika ia bangun dan membuka pintu depan, tampak sudah siap untuk berangkat Ki Ageng Lembu Sora beserta Lembu Sora siap meninggalkan Banyubiru, tanpa sadar Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa syukur bahwa orang yang sama sekali tak menyenangkan, baik wataknya maupun bentuk tubuhnya yang kaku itu, segera akan meninggalkan Banyubiru sebelum terjadi saat yang bersamaan, tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sorapun memandang ke arah pintu yang sudah terbuka sedikit itu, dimana Mahesa Jenar sedang berdiri pandangan yang terjadi dengan tiba-tiba itu telah menimbulkan ledakan yang hebat di hati masing-masing. Pandangan mereka segera berubah menjadi tajam dan seolah-olah meskipun tanpa diucapkan, mereka telah berjanji bahwa pada suatu ketika mereka akan berhadapan sebagai lawan yang harus membuat perhitungan dengan taruhan yang sangat kemudian, Ki Ageng Lembu Sora segera memberi aba-aba kepada para pengiringnya, dan segera mereka pun pergi meninggalkan halaman Kepala Daerah Perdikan di regol halaman, sekali lagi Lembu Sora menoleh kepada kakaknya yang melepasnya dari atas pendapa beserta istrinya. Dan dengan sekali lagi menganggukkan kepalanya, Lembu Sora lenyap dari pandangan Lembu Sora hilang di balik pagar halaman, serta Ki Ageng Gajah Sora telah masuk kembali ke dalam rumah, segera Mahesa Jenar keluar dari Gandok Wetan dan langsung pergi lewat pintu pagar samping, menuruti tangga batu, pergi ke mata air dimana ia biasa baru saja ia akan melepaskan pakaiannya, tiba-tiba dilihatnya dua bayangan diantara pepohonan agak diatas mata air itu. Dan ketika ia memandangnya lebih tajam lagi, dilihatnya seorang tua dengan seorang pemuda tampan berdiri memandangnya. Alangkah terkejutnya ketika diketahuinya bahwa orang tua itu tidak lain adalah Ki Ageng Pandan Alas yang berdiri bertolak pinggang sambil tertawa nyaring. ”Kau agak kesiangan bangun, Mahesa Jenar,” katanya diantara derai Jenar segera membungkuk hormat. ”Ya, Ki Ageng,” jawabnya.”Mahesa Jenar...” sambung Ki Ageng Pandan Alas, ”Apakah Kakang Sora Dipayana telah meninggalkan Banyubiru?””Sudah, Ki Ageng.” ”Bagus,” sahut Pandan Alas. ”Aku juga akan segera pergi. Tetapi sengaja aku singgah sebentar untuk memperkenalkan muridku ini kepadamu.”Barulah Mahesa Jenar sadar bahwa Pandan Alas itu berdiri di sana dengan seorang lagi. Maka ketika ia mendengar bahwa Pandan Alas bermaksud memperkenalkannya dengan muridnya, segera ia membetulkan pakaiannya dan melangkah segera ia berhenti ketika Ki Ageng Pandan Alas menegornya, ”Tak usah kau naik kemari, Mahesa Jenar. Muridku agak malu berkenalan dengan kau yang telah memiliki nama besar sebagai seorang perwira prajurit Demak. Tidak saja itu, tetapi juga sebagai penolong yang luhur budi.”Mahesa Jenar segera tertegun heran. Apakah hubungannya dengan nama yang pernah dimilikinya. Tetapi ketika sekali lagi ia memandang murid Pandan Alas itu, hatinya terguncang hebat. Apalagi ketika orang itu menundukkan wajahnya yang tampak kemalu- Jenar segera mengenal siapakah murid Ki Pandan Alas itu. Karena itu wajahnya menjadi terasa panas dan jantungnya berdetak lebih cepat."Rupa-rupanya kau sudah mengenalnya Mahesa Jenar, " bertanya Pandan Alas sambil Jenar tidak segera menjawab. Mulutnya jadi seperti terdengar tertawa Pandan Alas semakin keras. Katanya; "Aku jadi geli, kalau aku teringat ketika Mahesa Jenar jadi marah bukan main dan hampir saja membunuh orang yang sama sekali tak bersalah beberapa pekan yang lalu di hutan Tambak Baya, ketika ia kehilangan bebannya."Juga kali inipun Mahesa Jenar tidak kata-katanya tidak mendapat jawaban Pandan Alas melanjutkan, "Mahesa Jenar, inilah muridku yang aku katakan. Siapakah nama yang pantas aku berikan kepadanya?."Mendengar pertanyaan yang berturut-turut itu hati Mahesa Jenar menjadi bertambah bingung. Ia sendiri tidak mengetahui, kenapa ia tidak dapat menahan perasaannya sehingga ia kehilangan ketenangan. Murid Pandan Alas itu, meskipun jelas berpakaian seperti seorang pemuda, namun ketika Mahesa Jenar memandangnya agak lama, ia segera mengenal bahwa murid Pandan Alas itu sama sekali bukan seorang pemuda, melainkan ia adalah seorang gadis cantik yang sedang mekar, yang tidak lain adalah cucu Pandan Alas sendiri yaitu Rara Wilis yang pernah dikenalnya dan pernah ditolongnya. Pertemuan yang tidak diduga itu membuat Mahesa Jenar kehilangan ketenangan. Disamping itu iapun menjadi heran pula bahwa sedemikian cepat Ki Ageng Pandan Alas telah kembali bersama gadis itu. Kalau demikian ketika Ki Ageng Pandan Alas sedang bertempur dengan Pasingsingan, Rara Wilis pasti disembunyikan ditempat yang tidak begitu jauh dari Banyu saat kenangannya sedang menelusur kembali ke masa lampau terdengan kembali Pandan Alas berkata, "apakah kau mempunyai pilihan nama yang baik Mahesa Jenar ? Aku sendiri bingung memberi nama yang sesuai. Tetapi yang jelas aku tidak akan memberinya nama Lawa Ijo, meskipun nama aselinya bermakna hijau juga."Mahesa Jenar masih saja belum dapat menguasai dirinya sehingga mulutnya masih belum dapat mengucapkan kata. Bahkan ia menjadi gelisah. Melihat sikap Mahesa Jenar, Pandan Alas tertawa semakin keras, katanya, "Barangkali kau tidak siap menghadapi kejadian yang sangat tiba-tiba datangnya ini Mahesa Jenar. Tetapi tidak mengapa. Maksudku hanyalah supaya kau tahu bahwa cucuku ini aku bawa, supaya aku dapat melakukan dua pekerjaan sekaligus, yaitu yang pertama untuk mengetahui siapakah yang telah membawa kedua keris Kiai Nagasasra dan Sabukinten, sedangkan yang kedua, supaya diperjalanan aku masih dapat mengajari anak ini selangkah dua langkah ilmu yang tak berarti, supaya ia dapat menjaga keselamatan dirinya. Sukur ia berhasil melepaskan pengaruh jahat ibu tirinya atas bapaknya yang sekarang bermukim di Gunung Tidar."Mendengar kata-kata Pandan Alas yang terakhir Mahesa Jenar terkejut, sahutnya; "Maksud Ki Ageng, Sima Rodra Gunung Tidar ?""Ya," jawab Pandan Alas. "Sima Rodra muda itu adalah bekas menantuku yang kemudian kena pengaruh seorang perempuan, maka ia seperti berubah ingatan. Sekarang keturunanku satu-satunya adalah Wilis ini. Karena itu, meskipun ia seorang gadis aku akan mencoba untuk membuatnya setidak-tidaknya dapat menyamai ibu tirinya. Maka supaya pantas aku beri ia pakaian laki-laki dan seharusnya namanyapun harus nama lelaki pula. Nah apa katamu kalau anak ini aku beri nama Pudak Wangi ?."Kembali Mahesa Jenar terbungkam. Tetapi nama itu rasanya amat manisnya. karena itu, meskipun ia tidak menjawab, tetapi dengan tidak disengaja ia mengangguk juga. Ia terkejut ketika Pandan Alas meneruskan, "Ha rupanya kau setuju juga. Bukankah Pudak adalah nama dari bunga Pandan. Aku harap cucuku kelak akan dapat menjadi bunga Pandan yang wangi."Mahesa Jenar menjadi bertambah bingung. Ia ingin menjawab tetapi ia tidak tahu bagaimana, sampai akhirnya Pandan Alas berkata lagi, "Mahesa Jenar kenapa kau diam saja. Setuju atau tidak, atau barangkali kau punya nama yang lebih baik ?.""Tidak Ki Ageng" akhirnya terpaksa ia menjawab sekenanya, "nama itu sudah baik sekali.""Bagus, Kau setuju dengan nama itu bukan. Nah kalau pada suatu ketika kau bertemu dengan seorang pemuda yang bernama Pudak Wangi, jangan kau apa-apakan dia," sahut Ki Ageng Pandan Alas. "Nah sekarang aku akan pergi. Marilah Pudak Wangi. Sebaiknya kau minta diri pada Mahesa Jenar."Wajah Rara Wilis segera berubah menjadi merah. Ia mencoba tersenyum, tetapi alangkah sulitnya. Dengan terpaksa ia berkata, "Selamat tinggal tuan, aku mohon diri untuk mengikuti kakek mencari pusaka yang hilang."Mendengar kata cucunya segera Pandan Alas membetulkan, "Eh Mahesa Jenar adalah murid sahabatku. Kenapa kaupanggil dengan sebutan tuan? kau sekarang adalah muridku. Panggil dengan sebutan yang lebih akrab sebagai dua murid dari dua orang sahabat."Kembali wajah Rara Wilis kemerahan. tetapi terpaksa ia berkata, "Aku mohon diri kakang, aku akan menyertai guru.""Begitulah panggilan seorang sahabat," kata Pandan Alas sambil tertawa nyaring. Sementara itu terdengar Mahesa Jenar menjawab, "mudah-mudahan semuanya selamat, yang pergi dan yang ditinggalkan.""Baiklah Mahesa Jenar," sahut Pandan Alas. "Lekaslah mandi. Aku akan berangkat. Mungkin untuk waktu yang agak lama kita tidak bertemu. Selamat tinggal."Sesudah mengucapkan kata-kata itu segera Ki Ageng Pandan Alas dan Rara Wilis yang kemudian bernama Pudak Wangi itu pergi meninggalkan Mahesa Jenar dan berjalan perlahan-lahan menyusup pepohonan. Mahesa Jenar berdiri tegak seperti patung mengawasi mereka berdua. Pikirannya tiba-tiba menjadi risau. Ia tidak tahu kenapa hatinya bergetar ketika mendengar Pandan Alas mengatakan bahwa mungkin untuk waktu yang lama mereka tidak akan tadi, ketika ia melihat Pandan Alas itu berangkat untuk mencari pusaka-pusaka yang hilang, ia tidak merasakan perasaan seperti pada saat beberapa saat kemudian Mahesa Jenar seperti orang sadar dari mimpi. Kembali ia turun ke mata air untuk mandi. Tetapi bagaimanapun terasa bahwa ada sesuatu yang mengganggu ketentraman Wilis meskipun sudah berpakaian seperti seorang pemuda, namun wajah itu selalu mondar-mandir saja di dalam itulah maka setelah ia mandi dan kembali ke rumah sahabatnya, ia tampak agak lain dari biasanya. Tetapi ia selalu berusaha untuk menyembunyikan hari kemudian, Mahesa Jenar merasa agak kurang enak untuk tinggal berdiam diri di rumah sahabatnya itu. Bagaimanapun ia merasa turut bertanggung jawab pula atas hilangnya pusaka-pusaka Demak yang telah dengan susah payah diketemukan dan direbut dari tangan Sima Rodra. Karena itu, meskipun ia tahu pasti bahwa yang berhasil merampas kedua pusaka itu, termasuk angkatan gurunya atau setidak-tidaknya mempunyai kesaktian yang setingkat dengan gurunya, serta Ki Ageng, namun adalah kewajibannya pula untuk mencoba-coba menemukannya Jenar memutuskan menemui Ki Gajah Sora untuk minta diri, dan kemudian meneruskan perantauannya, dan apabila mungkin untuk mendapatkan kembali Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten yang telah ketika pada suatu pagi, Mahesa Jenar telah bersiap-siap untuk minta diri, tiba-tiba terdengarlah sayup-sayup suara kentongan yang dipukul bertalu-talu dengan irama dara muluk ganda. Itu adalah suatu pertanda bahwa ada pejabat penting dari Istana Demak yang datang ke Daerah Perdikan itu kemudian diulang dan diulang oleh pemukul-pemukul kentongan yang lain, sehingga suaranya terdengar semakin lama semakin tanda-tanda itu, Gajah Sora tampak agak sibuk mempersiapkan penyambutan. Tetapi bagaimanapun tampak membayang di wajahnya perasaan yang hambar dan kurang tenang. Meskipun ia belum tahu akan kepentingan para pejabat itu, namun ia mendapat firasat bahwa sesuatu yang kurang baik akan yang masih belum sembuh benar, segera diundang pula. Beberapa pejabat lain, dengan sendirinya telah hadir pula setelah mendengar tanda-tanda Jenar yang mengerti juga akan tanda-tanda itu menjadi agak bingung. Ia meninggalkan Demak serta melepaskan pakaian keprajuritan karena perbedaan- perbedaan pendapat dengan beberapa pejabat sekarang di suatu tempat yang jauh dari istana, pejabat itu datang untuk suatu keperluan. Ia menjadi bimbang, apakah ia harus menemui pejabat-pejabat itu ataukah setelah menimbang masak-masak, akhirnya Mahesa Jenar minta kepada Gajah Sora untuk diberi kesempatan tidak usah menemui mereka dan kehadiran tamu-tamu tersebut. Juga tidak perlu dikabarkan bahwa Mahesa Jenar sedang berada di Banyubiru. Ia akan berada di dalam ruangan tengah sambil mendengarkan apakah kepentingan para pejabat itu datang ke daerah perdikan kemudian terdengarlah di kejauhan suara sangkakala. Itu adalah suatu pertanda bahwa yang datng adalah pejabat-pejabat sangkakala itu, Gajah Sora menjadi bertambah sibuk. Diperintahkan seorang meniup sangkakala pula untuk menyatakan kesediaan kepala perdikan Banyubiru menerima tamu-tamu penting dari itu beberapa orang telah siap di atas kuda untuk menyongsong tamu-tamu dari Demak itu. Ketika Ki Ageng memberikan tanda-tanda, segera mereka pun berangkat. Mahesa Jenar yang menanti kedatangan tamu-tamu itu dari ruang dalam menjadi semakin lama semakin gelisah. Kalau saja ia telah meninggalkan tempat itu, maka apapun yang terjadi, ia sudah tidak melihatnya lagi. Tetapi sekarang, pada saat ia masih berada di tempat itu, dapatkah kiranya ia berdiam diri? Sebab dalam tangkapan Mahesa Jenar, kedatangan para utusan dari Demak itu pasti ada sangkut-pautnya dengan keris Kyai Nagasasra dan Sabuk saat kemudian, sebelah punggung Mahesa Jenar basah oleh keringat dingin yang mengalir karena kegelisahannya. Terdengarlah derap kuda di ingin tahu Mahesa Jenar sedemikian besar sehingga lewat lubang-lubang papan sambungan dinding, ia mengintip. Ketika ia melihat pemimpin rombongan dari Demak itu, dadanya bergetar. Rupa-rupanya rombongan ini dianggap sedemikian pentingnya sehingga telah ditunjuk untuk memimpin rombongan ini, seorang perwira dari pengawal bandar Bergota, yaitu Palindih, seorang perwira yang sangat terkenal, yang pada saat Pangeran Sabrang Lor menyerang Portugis di Malaka, dialah yang mempergunakannya sebagai batu loncatan untuk meluaskan jari-jari penjajahannya ke Pulau Jawa dan sekitarnya. Ia sudah menjabat sebagai pimpinan dari salah satu kapal dalam armada yang dipimpin langsung oleh Adipati Unus saat itu Gajah Sora, yang masih sangat muda, yang ikut sebagai sukarelawan dalam penyerangan itu, beruntung terpilih menjadi anggota pengawal Sabrang Lor. Karena pemuda itu telah menunjukkan ketangkasan yang luar biasa, maka dari Pangeran, ia menerima hadiah sebuah tombak itu, ketika Ki Ageng Gajah Sora melihat, siapakah yang datang, maka dengan tergopoh-gopoh ia turun ke halaman menyambut tamunya dengan salam persahabatan. Mereka telah saling berkenalan dan telah mengetahui kebesaran dari Istana Demak itu segera dipersilahkan naik ke pendapa, dimana telah hadir para pejabat tanah perdikan dan pimpinan-pimpinan laskar Banyubiru. Di belakang, Nyi Ageng pun telah bekerja keras menyiapkan suguhan yang dianggapnya pantas, untuk menjamu tamu-tamu dari mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing, serta setelah mereka yang datang mendapat jamuan pelepas haus, maka mulailah Arya Palindih menyampaikan keperluannya datang ke Perdikan Banyubiru. Meskipun wajahnya tampak keras, tetapi karena umurnya yang telah agak lanjut, maka ia berusaha untuk berhati-hati.“Anakmas Gajah Sora... izinkanlah aku menyampaikan pesan Baginda untuk Anakmas kepala daerah Perdikan Banyubiru. Pertama Baginda Sultan Demak menyampaikan salam taklim untuk Anakmas, serta doa mudah-mudahan pemerintahan perdikan Banyubiru yang didasarkan atas ketetapan sejak Baginda Brawijaya Pamungkas ini dapat berlangsung dengan sempurna, serta keputusan Baginda untuk tetap menghormati prasasti ketetapan tanah perdikan ini, kata Arya Palindih.” “Adapun yang kedua, lanjut Arya Palindih, Baginda Sultan Demak mengucap syukur ke hadirat Allah SWT bahwa Anakmas dari Banyubiru yang sudah dikenal oleh Baginda sejak penyerangan kedaerah Utara, yang pada saat itu Pemerintahan Demak masih dipegang oleh Pangeran Sabrang Lor, telah berhasil menyelamatkan kedua pusaka istana, Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.”Mendengar kata-kata itu, yang diucapkannya dengan jelas setiap suku katanya, baik Gajah Sora maupun Mahesa Jenar yang berada di ruang dalam, dadanya merasa seolah- olah tertindih beban yang sangat berat. Wajah Gajah Sora segera berubah, serta pandangannya menjadi suram. Meskipun hal itu telah diduganya, namun bagaimanapun darah Gajah Sora mengalir bertambah cepat dengan agak gemetar serta berusaha untuk menguasai diri, Ki Ageng Gajah Sora menjawab, “Paman Arya Palindih yang aku hormati.... Pertama-tama aku merasa sangat berbesar hati atas kesudian Paman serta atas kemurahan hati Baginda mengutus sebuah rombongan untuk datang ke daerah yang terpencil ini. Adapun yang kedua, aku menyatakan terima kasih yang sebesar-besarnya pula atas perhatian Baginda kepada hasil yang telah aku dapatkan, yaitu menyelamatkan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”Sampai sekian kata-kata Gajah Sora terputus. Hatinya menjadi semakin gelisah serta dadanya bertambah berdebar. Dengan berusaha sedapat-dapatnya untuk menguasai dirinya ia melanjutkan, “Tetapi Paman, sebaiknya aku berkata terus terang, bahwa mungkin karena kesalahanku, karena aku tidak mampu menjaga keselamatan kedua pusaka itu, maka beberapa hari yang lalu kedua pusaka itu hilang kembali.”Mendengar keterangan Gajah Sora itu, Arya Palindih terkejut, sehingga duduknya tergeser ke belakang. Dengan mata yang mengandung seribu satu macam pertanyaan, ia memandangi Gajah Sora tanpa Sora merasakan bahwa sesuatu bergolak di dalam dada Arya Palindih, karena itu ia merasa perlu untuk memberikan penjelasan atas hilangnya kedua pusaka dengan sedikit bergetar Gajah Sora menceriterakan bagaimana ia berhasil mendapatkan kedua keris itu di Gunung Tidar, sampai kedua keris itu hilang dicuri orang, dengan kesaksian orang-orang yang pada saat itu masih belum sembuh benar, seperti Wanamerta, Panjawi dan lain-lainnya. Tetapi sudah tentu Gajah Sora sama sekali tak menyebut-nyebut nama Mahesa Jenar atau yang lebih terkenal dengan sebutan Rangga Gajah Sora telah mengatakan semuanya yang terjadi, tampaknya Arya Palindih masih memancarkan rasa kesangsian. Beberapa kali ia memandang berkeliling. Kepada Wanamerta, Bantaran, Panjawi, Sawungrana dan kepada para pengiringnya, seolah-olah ia minta penjelasan yang lebih banyak lagi, serta minta pertimbangan- setelah beberapa saat mereka berdiam diri, berkatalah Arya Palindih, “Anakmas Gajah Sora, aku tahu betapa besar kemampuan Anakmas. Anakmas adalah salah seorang kepercayaan almarhum Pangeran Sabrang Lor yang juga disebut Adipati Unus pada usia yang masih sangat muda. Sekarang Anakmas telah berusia dua kali lipat. Aku percaya bahwa dalam usia yang sekarang ini Anakmas telah merupakan seorang yang maha perkasa, ditambah lagi aku dengar laskar Banyubiru adalah laskar yang teguh dan perwira. Masih adakah gelombang-gelombang perampok yang hanya dapat mencegat pedagang-pedagang yang tak berdaya itu, berani mendekati Banyubiru? Apalagi memasuki rumah kepala daerah perdikan?”“Paman Arya Palindih..., Apa yang Paman katakan adalah benar. Tetapi yang datang ke Banyubiru bukanlah rombongan pencuri-pencuri kerdil yang hanya mampu membongkar dinding. Tidakkah Paman pernah mendengar nama-nama seperti Lawa Ijo, Sima Rodra, Sepasang Uling dari Rawa Pening, Jaka Soka dari Nusakambangan dan yang lebih terkenal lagi Pasingsingan, Sima Rodra tua dari Lodaya, Bugel Kaliki dari lembah Gunung Cerme...?”Mereka itu semua telah beramai-ramai datang ke Banyubiru seperti orang yang dahulu- mendahului, seolah-olah kedua pusaka itu dapat mereka miliki dengan seenaknya saja. Kami telah berusaha sekuat tenaga kami, sampai beberapa orang kami luka parah, bahkan anakku sendiri Palindih menarik nafas dalam-dalam. Dahinya tampak berkerut-kerut. Meskipun usianya telah melebihi setengah abad, namun ia masih tampak segar dan perkasa. Beberapa rambut putih yang tumbuh di pelipisnya, tampak menambah wibawanya. Beberapa saat lamanya ia tidak berkata apa-apa. Ia sedang mencoba memahami keterangan-keterangan Gajah Sora, yang bagaimanapun sebenarnya agak janggal terdengarlah ia berkata, “Aneh. Aneh sekali. Kenapa mereka baru akan memperebutkan pusaka-pusaka itu setelah berada di tangan Anakmas. Kenapa mereka tidak merebutnya selagi pusaka-pusaka itu masih berada di tangan Sima Rodra Gunung Tidar.”Gajah Sora mengerutkan keningnya. Ia sadar bahwa Arya Palindih agak membimbangkan keterangannya. Karena itu ia melanjutkan, “Adakah Paman dapat membayangkan kekuatan raksasa yang mendatangi Banyubiru bersama-sama...?, tentang keheranan Paman, kenapa baru setelah pusaka-pusaka itu berada di Banyubiru, mereka beramai-ramai memperebutkan itu sama sekali tak aku ketahui. Itu adalah soal mereka, tetapi mungkin sebelum itu tak seorangpun yang mengetahui, bahwa kedua pusaka itu berada di tangan Sima Rodra. Baru setelah kedua pusaka itu lenyap dari tangannya, ia sengaja meniup-niupkan berita bahwa pusaka-pusaka itu berada di Banyubiru.” Jilid 11“Ki Sanak... potong Mahesa Jenar, kenapa kau begitu tergesa-gesa. Sebaiknya kau memperkenalkan dirimu kepada penduduk Banyubiru ini supaya mata mereka tidak menyorotkan pandangan kecurigaan.”Orang itu sekarang sudah tidak dapat lagi mengendalikan dirinya karena putus asa. Ia tidak mendapat kesempatan untuk meninggalkan tempat itu begitu saja. Matanya berubah menjadi liar dan mencari tempat-tempat yang lemah, di mana ia mungkin menerobos untuk melarikan diri. Tetapi orang yang mengerumuninya itu seolah-olah sengaja mengepungnya orang itu tidak dapat melihat kemungkinan itu tiba-tiba ia menarik keris yang terselip di bawah bajunya. Maka dengan suara yang parau ia berteriak, “Minggir, atau aku terpaksa membunuh kalian.”Melihat orang itu menarik kerisnya, beberapa orang yang mengerumuninya surut ke belakang. Tetapi mereka sama sekali tidak takut. Orang Banyubiru bukanlah sebangsa penakut. Kalau mereka mundur hanyalah supaya ada jarak cukup dapat bertindak tepat. Apalagi Mahesa Jenar. Ia sama sekali tak berkisar dari tempatnya.“Janganlah bermain-main dengan benda yang demikian, sebab senjata hanyalah mendatangkan bencana, terutama bagi yang membawanya” kata Mahesa Jenar sambil tersenyum.“Diam...!” teriak orang itu semakin putus asa. “Pergi kau, atau biarkan aku pergi.”Orang itu selangkah mendekati Mahesa Jenar dengan keris terhunus. Melihat orang itu mendekati Mahesa Jenar, beberapa orang bergerak pula. Mereka masih belum tahu sampai di mana kemampuan bertindak Mahesa Jenar, sehingga penduduk Banyubiru merasa perlu untuk melindungi tamu mereka. Tetapi Mahesa Jenar masih saja berdiri di itu terdengarlah beberapa orang keluar dari halaman. Mereka ternyata Ki Ageng Gajah Sora, Ki Ageng Lembu Sora dengan beberapa pengiringnya. Ketika mereka mendengar ribut-ribut di luar, mereka ingin pula mengetahuinya. Dan ternyata Arya Salaka telah berlari memberitahukan persoalan itu kepada yang berdiri berkerumun segera menyibak, ketika mereka melihat kepala daerah mereka datang. Melihat orang-orang berdatangan, orang yang mencurigakan itu menjadi semakin pucat, dan semakin terjadilah suatu hal yang tidak terduga-duga. Ketika Ki Ageng Lembu Sora melihat orang itu, matanya menjadi merah menyala. Dan tidak seorang pun yang mengira bahwa Lembu Sora secepat kilat menarik kerisnya dan sambil berteriak ia meloncat menikam perut orang itu.“Orang inikah yang telah berani menganiaya putra Kakang Gajah Sora?” katanya. Gerakan Lembu Sora terlalu cepat sehingga tak seorang pun dapat itu terdorong mundur beberapa langkah. Cepat-cepat tangannya memegang perutnya yang terluka, dan kerisnya sendiri terlepas jatuh. Tubuhnya menggigil seperti orang kedinginan, sedang wajahnya memancarkan rasa heran dan kemarahan yang tak terhingga. Ia memandangi Lembu Sora dengan matanya yang semakin pucat. Dari sela- sela jarinya mengalir gumpalan-gumpalan darah cair. Bibirnya yang menjadi putih itu bergerak-gerak, tetapi tak sepatah katapun terucapkan, sampai akhirnya ia tersungkur dan tak bernafas lagi. Kemudian terdengarlah suara-suara yang tidak jelas dari beberapa orang yang menyaksikan dengan penuh keheranan atas kejadian itu. Mereka semua sudah mengenal bahwa Lembu Sora adalah adik Ki Ageng Gajah Sora, tetapi mereka sama sekali tidak membayangkan bahwa adik Gajah Sora dapat bertindak sekasar itu terhadap seseorang yang belum jelas Mahesa Jenar dan Gajah Sora sendiri, yang menjadi kurang senang atas tindakan Lembu terlalu tergesa-gesa Adi Lembu Sora, kata Gajah Sora.“Maafkan aku Kakang....” jawab Lembu Sora. “Aku terlalu tidak dapat menahan hati terhadap orang yang menganiaya putra Kakang. Sebab aku sendiri mempunyai seorang anak yang sebaya dengan Arya, yaitu Sawung Sariti, sehingga aku merasa bahwa tindakan yang kasar terhadap anak-anak adalah tindakan yang paling terkutuk”Gajah Sora menarik alisnya. Kemudian diperintahkannya beberapa orang untuk mengurusi jenazah itu, sedang beberapa orang yang lain supaya mencari keluarganya, apabila semuanya mulai dikerjakan, Gajah Sora dan Lembu Sora serta para pengiringnya masuk kembali. Mahesa Jenar masih saja berdiri diantara mereka yang sedang menyelesaikan penguburan jenazah itu. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai masalah. Tadi ia sempat meneliti wajah Lembu Sora lebih yang berapi-api, bibirnya yang agak tebal dan selalu tertarik ke bawah bagian- bagian tepinya, menunjukkan bahwa ia benar-benar orang yang tidak tanggung-tanggung. Yang dapat membunuh orang, asal ia mau, dan sesudah itu dapat melupakannya dengan sekaligus seperti tak terjadi bagaimanapun, apa yang baru dilakukan adalah tindakan yang kasar sekali. Tiba- tiba Mahesa Jenar mendapat pikiran lain. “Apakah hal itu cukup kuat sebagai suatu alasan untuk membunuh. Tidak mungkinkah kalau pembunuhan itu dilakukan karena ada sebab-sebab lain...?”Sementara itu datanglah Arya Salaka mendekatinya. Wajahnya tampak tidak seriang biasanya. “Aku menyesal Paman. Aku tidak mengira bahwa orang itu akan mengalami nasib terlalu buruk, sehingga Paman Lembu Sora membunuhnya,” bisiknya kepada Mahesa Jenar.“Sudahlah, Arya... lain kali jangan terlalu nakal. Untunglah aku melihat kau berkelahi. Kalau tidak, barangkali kepalamu tadi sudah terbentur dinding,” jawabnya.“Mula-mula aku hanya ingin mengetahui, apakah yang akan dilakukan orang itu, Paman,” katanya. “Kelakuannya nampak aneh. Dan aku tidak sempat memberitahukan kepada siapapun.” “Sudah pernahkah kau melihat orang itu sebelumnya?” tanya Mahesa Jenar.“Belum. Yang pasti ia bukan orang Banyubiru. Aku hampir mengenal semua orang di kota ini,” Jenar merenung sejenak. Lalu katanya, “Sudahlah, lupakan itu. Marilah kita sekarang berjalan-jalan. Barangkali kau dapat menunjukkan tempat-tempat yang belum pernah aku lihat.”Maka kembali Mahesa Jenar berjalan-jalan tanpa tujuan. Kali ini ia pergi bersama Arya Salaka yang nakal. Diajaknya Mahesa Jenar mendaki lereng bukit Telamaya.“Dari sana Paman dapat melihat seluruh dataran Tanah Rawa,” kata Arya Salaka. “Dari Banyubiru, dataran itu juga dapat dilihat, Arya,” jawab Mahesa Jenar.“Tetapi pandangan kita tidak seluas apabila kita berdiri di sana” bantah Arya Jenar tidak menjawab lagi. Memang ia sama sekali tidak mempunyai tujuan. Jadi ke mana saja pergi, bagi Mahesa Jenar adalah sama di lereng bukit yang agak tinggi, mereka berdua dapat melihat hampir seluruh dataran. Tanah-tanah yang subur dengan padinya tampak seperti permadani kuning yang dibentangkan di bawah kaki mereka. Sedang di bagian timur tampak Rawa Pening berkilat-kilat memantulkan cahaya mata Mahesa Jenar yang tajam tertarik pada beberapa titik yang bergerak- gerak. Titik-titik itu terlalu kecil, tetapi mata Mahesa Jenar segera dapat mengenalnya bahwa titik-titik itu adalah orang-orang berkuda.“Kau lihat titik-titik yang bergerak-gerak itu?” tanya Mahesa Jenar kepada Arya Salaka.”Yang mana Paman?” tanya Arya Salaka sambil berusaha mempertajam pandangan matanya.”Di sebelah selatan rawa itu,” jawab Mahesa Jenar. Akhirnya Arya Salaka dapat melihatnya pula. “Ya..., aku melihatnya, Paman,” katanya.“Kau tahu, apakah itu kira-kira?” tanya Mahesa Jenar. Arya mengerinyitkan alisnya. “Entahlah,” jawabnya. “Itu adalah orang-orang berkuda,” kata Mahesa Jenar.“Orang-orang berkuda?” tanya Arya. Rupanya ia sangat tertarik. “Di sini memang sering ada orang-orang berkuda. Tetapi yang bergerombol demikian adalah jarang sekali. Berapa orang kira-kira mereka, Paman?”Mahesa Jenar mengamat-amati sejenak, lalu katanya, “Ya, antara sepuluh orang.“Tiba-tiba wajah Arya Salaka berubah. Pasti terpikir sesuatu olehnya. Maka berkatalah “Ia, Paman, marilah kita lihat, siapakah mereka itu.”Mahesa Jenar tersenyum. “Jarak itu tidak terlalu dekat Arya, belum tentu lewat tengah hari kita sampai ke sana. Bukankah jalan menuju ke tempat itu berkelok-kelok?”“Kita pulang dahulu. Lalu kita ambil kuda, dan pergi ke sana,” Arya menjelaskan tidak menunggu jawaban Mahesa Jenar, tetapi terus saja menghambur lari menuruni Jenar tidak dapat berbuat lain kecuali mengikutinya. Memang sebenarnya ia pun tertarik pada rombongan orang-orang berkuda yang datang dari arah timur Mahesa Jenar sampai di luar dinding halaman rumah Arya, ia melihat Arya sudah menunggunya dengan dua ekor kuda. Yang seekor berwarna hitam mengkilat dan yang seekor lagi berwarna abu-abu. Ketika Mahesa Jenar menghampirinya, segera Arya menyerahkan kuda yang berwarna abu-abu itu kepadanya.“Mudah-mudahan tamasya ini menyenangkan Paman,” kata Arya sambil meloncat ke atas punggung kudanya. Kemudian tanpa menunggu Mahesa Jenar, ia telah memacu kudanya. Mahesa Jenar segera menyusul sambil menggerutu di dalam hati, “Memang anak ini nakal sekali.”Sebentar kemudian kuda-kuda itu telah menuruni jalan-jalan perbukitan, dan segera mencapai jalan yang menuju ke Rawa yang dihamburkan oleh kaki-kaki kuda itu bergulung-gulung di terik matahari. Berkali-kali Mahesa Jenar yang berjalan di belakang menghapus wajahnya, yang rasanya bertambah tebal oleh debu yang mereka berkuda beberapa saat, tampaklah jauh di depan mereka debu yang berhambur-hamburan. Segera Arya memperlambat kudanya sampai Mahesa Jenar berjalan di sampingnya.”Itukah mereka Paman?” tanya Arya Salaka. “Ya, itulah mereka,” jawab Mahesa Jenar.“Lalu apa yang akan kita lakukan?” tanya Arya lagi.“Terserahlah kepadamu,” jawab Mahesa Jenar tersenyum. “Bukankah aku hanya mengikutimu?”Arya mengerutkan keningnya. Ia mencoba untuk mengingat-ingat, apakah yang mendorongnya untuk pergi. Tetapi yang ditemukannya hanyalah suatu keinginan untuk mengetahui semata-mata. Sesudah itu tidak ada apa-apa lagi. Karena itu ia menjadi bingung mendengar jawaban Mahesa Jenar menangkap kesan itu. Lalu katanya, “Arya, lain kali pikirkan dahulu sebelum kau bertindak, supaya kau tidak mudah terjerat dalam suatu bahaya. Sekarang aku kau bawa ke dalam suatu tindakan yang tak kau ketahui sendiri maksudnya.”Arya memandang wajah Mahesa Jenar dengan penuh kesibukan di dalam hati. Tetapi ketika ia melihat kesan wajah Mahesa Jenar, segera ia berkata hampir berteriak “Paman, jangan Paman mengganggu. Aku sudah kebingungan.”Kembali Mahesa Jenar tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab, sehingga kembali Arya bertanya, “Aku akan tidak berbuat lagi Paman. Tetapi bagaimana sekarang?”Akhirnya Mahesa Jenar kasihan juga melihat Arya bingung. Maka katanya, “Kenapa kau menjadi bingung? Bukankah biasa saja kalau kita berjalan berpapasan? Apa halangannya?”Jawaban Mahesa Jenar yang sederhana itu telah membuat Arya menjadi geli sendiri. Katanya dalam hati, “Ya kenapa aku bingung. Bukankah benar kata Paman Mahesa Jenar itu...?”Akhirnya Arya Salaka tertawa sendiri. Tetapi tanpa disadarinya sendiri otaknya yang tangkas dapat mengikuti jalan pikiran Mahesa Jenar. Dengan berpapasan saja sudah dapatlah kiranya didapat kesan mengenai orang-orang berkuda berkuda itu semakin lama jaraknya menjadi semakin dekat. Mahesa Jenar masih selalu cemas atas tindakan-tindakan Arya yang kadang-kadang tak terkendalikan itu.“Arya, terhadap orang-orang yang sama sekali belum kau kenal, jangan berbuat sebelum kau ketahui beberapa hal lebih dahulu. Juga terhadap orang-orang berkuda itu. Kita berjalan biasa saja dan jangan menimbulkan kesan yang menarik perhatian mereka, supaya mereka tidak bercuriga,” kata Mahesa Jenar memperingatkan Arya. Arya memalingkan kepalanya. Sambil tersenyum ia menjawab, “Aku sudah berjanji Paman, untuk tidak melanggar nasehat-nasehat Paman.”Orang-orang berkuda itu sudah demikian dekat, dan sebentar kemudian mereka telah bersilang jalan. Ternyata mereka terdiri sekitar 10 orang dan bersenjata lengkap. Mereka pada umumnya bertubuh tegap dan gagah. Wajah-wajah mereka tampak keras dan mengandung sifat-sifat yang kurang mereka berpapasan, 10 pasang mata itu bersama-sama mengawasi Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Untunglah Arya Salaka tidak berbuat sesuatu yang menarik perhatian sehingga mereka biarkan saja anak itu lewat bersama seseorang yang mungkin dianggap dalam waktu yang sekejap itu banyak artinya bagi Mahesa Jenar. Orang-orang itu pastilah mempunyai maksud yang tidak baik. Kedatangan mereka di daerah Perdikan Banyubiru dengan senjata lengkap, pasti mempunyai hubungan dengan keris Nagasasra dan Sabuk Inten. Sebab bagaimanapun hal itu disekapnya sebagai suatu rahasia, namun tidaklah mustahil bahwa Sima Rodra sendirilah yang dengan sengaja meniup-niupkan berita bahwa Nagasasra dan Sabuk Inten berada di Banyubiru. Hal ini harus segera diketahui oleh Ki Ageng Gajah Sora.“Paman..., kemana kita sekarang?” Tiba-tiba suara Arya mengejutkan Mahesa Jenar yang sedang sibuk Jenar segera menoleh ke belakang. Orang-orang berkuda itu telah agak jauh di belakang mereka.“Ke manakah jalan ini Arya?” tanya Mahesa Jenar.“Aku belum pernah berjalan jauh lewat jalan ini, Paman,” jawab Arya. “Tetapi kata ayah, jalan ini menuju ke Pajaten dan kemudian lewat daerah hutan akan sampai ke jalan silang ke Bergota setelah membelok kembali ke arah barat.”Mahesa Jenar tampak berpikir sejenak. Kemudian ia bertanya lagi, “Adakah simpangan yang dapat menghubungkan kembali dengan Banyubiru tanpa mengambil jalan yang kita lewati tadi?””Aku belum tahu, Paman,” jawab Arya.“Kita berhenti sebentar Arya,” kata Mahesa Jenar sambil menarik kekang kudanya. Arya juga segera menghentikan kudanya.“Arya...,” kata Mahesa Jenar, “Kita harus segera kembali. Kalau mungkin lewat jalan lain. Sebab kalau kita mengambil jalan yang sama, pasti akan menimbulkan kecurigaan orang-orang berkuda itu sehingga mungkin mereka akan berbuat sesuatu atas kita.” Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Rupanya ia dapat mengerti keterangan Mahesa Jenar. Tiba-tiba hampir berteriak ia berkata, “Paman... aku pernah pergi berburu bersama ayah. Kami mendaki lereng bukit ini lewat lorong sempit yang biasa dilewati orang mencari kayu. Aku tidak tahu apakah aku dapat menemukan jalan itu kembali. Tetapi yang masih aku ingat, kami lewat di sebelah randu alas raksasa yang tampak itu, Paman.”Mahesa Jenar memandang ke arah pohon raksasa yang ditunjukkan oleh Arya. Pohon itu terletak di tengah-tengah hutan yang tidak begitu lebat di lereng bukit itu.“Mungkinkah orang-orang tadi juga akan pergi berburu, Arya...?” tanya Mahesa Jenar.“Aku kira tidak, Paman. Sebab perlengkapan mereka sama sekali bukan perlengkapan orang berburu,” jawab Mahesa Jenar memuji kecerdasan otak anak itu. Katanya kemudian, “Beranikah kau mencoba membawa aku bertamasya ke bawah pohon itu?”Arya berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, “Marilah kita coba, Paman. Bila kita dapat mencapai pohon itu jalannya akan lebih mudah untuk mencapai Banyubiru. Sebab lorong di bawah pohon itu akan tembus sampai ke Sendang Muncul. Kalau sudah sampai di sendang itu sambil memejamkan mata aku dapat menuntun Paman sampai ke rumah ayah.”“Kau terlalu sombong Arya,” potong Mahesa Jenar sambil tersenyum. “Sebaiknya kita coba saja. Tetapi kalau kau tidak berhasil membawa aku sampai ke rumahmu, awas. Aku tidak mau lagi bermain gundu.”Arya tidak menjawab lagi. Tetapi segera ia menarik kekang kudanya dan memutarnya untuk seterusnya meloncat menyusup hutan yang tidak begitu lebat di lereng timur pegunungan Jenar pun segera mengikuti Arya. Sebenarnya ia sama sekali tidak sangsi lagi setelah Arya dapat menunjukkan ancar-ancar untuk mencapai Banyubiru. Sebab baginya sama sekali tidak akan menemui kesulitan untuk mencapai pohon randu alas raksasa itu. Meskipun demikian sengaja ia berjalan di belakang untuk memberi kesempatan kepada anak Ki Ageng Gajah Sora Arya sama sekali tidak mengecewakan. Dengan tangkasnya ia mengendalikan kudanya ke arah yang benar, meskipun sekali-sekali kuda itu harus berjalan sangat berhati-hati kalau sedang mendaki tebing yang setelah beberapa lama mereka menyusup semak-semak dan belukar yang tidak begitu tebal, akhirnya dengan bangga Arya berkata, “Inilah Paman, Arya telah dapat menemukan jalan”Mahesa Jenar tersenyum melihat wajah Arya yang lucu. Maka katanya, “Kau memang seorang pemburu yang hebat, Arya. Binatang-binatang buruanmu pasti tidak akan dapat melepaskan diri kalau kau sedang memburunya”Di luar dugaan Mahesa Jenar, tampak wajah Arya tiba-tiba merengut.“Hanya itukah, Paman...? Tidakkah aku dapat menjadi lebih baik daripada seorang pemburu? Ayah mengharap bahwa aku akan dapat menjadi seorang pahlawan”Kata-kata Arya itu sangat mengejutkan Mahesa Jenar. Ia tidak mengira bahwa di dalam dada anak itu telah tertanam suatu cita-cita yang sedemikian Mahesa Jenar kagum, tidak hanya kepada anak itu, tetapi sekaligus Ki Ageng Gajah Sora yang telah berhasil mencetak pola cita-cita hari depan yang demikian, kembali mengetuk perasaan Mahesa Jenar tentang gambaran masa depannya sendiri. Tak seorang pun yang akan dapat melanjutkan pada suatu ketika ia sudah tidak dapat lagi menggerakkan tangannya serta tak dapat lagi melangkahkan kakinya, maka ia akan terpencil dari segenap percaturan. Dan tak seorang pun akan berkata, Aku adalah keturunan Mahesa Jenar, dan ayahku mengharap aku menjadi seorang artinya perjuangan masa kini, apabila perjuangan itu tidak dapat tanggapan dari masa depan? Pastilah apa yang telah dihasilkan atas cucuran keringat dan darah itu satu persatu akan lenyap seperti lenyapnya batu dari permukaan air. Hilang. Tenggelam ditelan bergolaknya gelombang Mahesa Jenar tersadar oleh suara Arya yang masih belum puas ketika Mahesa Jenar tidak menjawab pertanyaannya.“Benarkah begitu Paman, bahwa suatu waktu aku akan dapat menjadi seorang pahlawan?” tanya Arya.“Tentu, tentu... Arya. Kau akan menjadi seorang pahlawan,” jawab Mahesa Jenar cepat- Arya Salaka mengangguk puas.“Nah, sekarang kita tinggal menuruti lorong sempit ini untuk mencapai Sendang Muncul,” sambung Arya Salaka.“Marilah Arya, kau berjalan di depan,” jawab Mahesa Arya dan Mahesa Jenar melanjutkan perjalanannya menuju ke Sendang Muncul. Tetapi di sepanjang perjalanan itu Mahesa Jenar tidak dapat melepaskan diri dari gangguan gagasannya mengenai masa depannya. Tiba-tiba belum beberapa lama mereka berjalan, Arya Salaka menghentikan kudanya. Matanya tertambat pada sesuatu di atas tanah, di jalan yang sedang dilaluinya. Tetapi belum lagi ia mengucapkan sesuatu, Mahesa Jenar telah melihat telapak-telapak kuda di lorong sempit itu. Telapak-telapak itu muncul dari dalam belukar di tepi lorong itu dan beberapa langkah setelah mengikuti lorong itu, kemudian lenyap pula ke seberang yang lain.“Telapak-telapak kuda Paman,” desis Jenar menganggukkan kepala. Ia mencoba untuk mengetahui adakah telapak- telapak kuda itu ada hubungannya dengan orang-orang berkuda yang baru saja berpapasan jalan. Menilik arahnya, maka tidaklah mungkin bahwa telapak telapak ini adalah telapak kaki-kaki kuda yang dijumpainya tadi. Jumlahnya juga tidak sesuai. Telapak-telapak ini tidak lebih dari lima ekor segera ia mendapat firasat bahwa bahaya yang besar telah mendatangi kota ini. Karena itu katanya kepada Arya.“Arya... mungkin ada bahaya di sekitar kita, karena itu marilah kita pulang. Mungkin ada gunanya kita membicarakan hal ini dengan ayahmu.”Rupanya Arya mengerti pula. Karena itu sambil mengangguk ia mempercepat jalan matahari telah melampaui titik tengah, mereka sampai di Sendang Muncul. Dari sana mereka dapat menaburkan pandangan ke dataran di muka lambung pegunungan itu. Tetapi mereka sama sekali tidak melihat lagi orang-orang berkuda yang dijumpainya tadi. Pasti mereka telah membelok masuk hutan. Hal ini juga merupakan suatu pertanda yang tapak-tapak kuda yang dijumpainya itu juga berasal dari orang-orang berkuda yang ditemuinya tadi. Karena itu maka mereka berdua segera melanjutkan perjalanan pulang, untuk menyampaikan apa yang telah mereka lihat itu kepada Ki Ageng Gajah di rumah, segera mereka menambatkan kuda-kuda mereka di belakang dapur, dan sesudah itu mereka langsung pergi ke Ageng Gajah Sora ketika melihat kedatangan Mahesa Jenar segera mempersilahkannya. Pada saat itu Ki Ageng Gajah Sora dan Ki Ageng Lembu Sora beserta beberapa orang pengiringnya sedang duduk bercakap-cakap di Ki Ageng Lembu Sora masih saja tidak menyenangkan bagi Mahesa Jenar. Meskipun demikian Mahesa Jenar sama sekali tak menunjukkan ketidaksenangannya. “Sudahkah Adi berkeliling sampai ke segala sudut?” tanya Ki Ageng Gajah Sora.“Sudah Kakang,” jawab Mahesa Jenar. “Bahkan aku telah sampai agak jauh ke sebelah timur. Aku dibawa Arya sampai ke pohon randu alas raksasa, yang katanya, ia pernah mengikuti Kakang berburu ke sana.”“Kau bawa Pamanmu sampai ke kediaman Kaki Klantung itu Arya?” tanya Gajah Sora kepada anaknya.“Ya..., Ayah...,” jawab Arya yang rupanya akan berceritera lebih banyak lagi, tetapi segera disahut oleh Mahesa Jenar, “Jadi randu alas itu terkenal dengan tempat kediaman Kaki Klantung?”“Begitulah kata orang,” jawab Gajah Sora.“Di perjalanan, kami bertemu dengan beberapa orang pemburu. Yang pertama kami bertemu dengan 10 orang, lalu di sebelah randu alas itu kami temui telapak-telapak kaki kuda, kira-kira sebanyak lima ekor,” sambung Mahesa keterangan Mahesa Jenar, Ki Ageng Gajah Sora mengerutkan keningnya. Terbayang pada wajahnya, perasaan yang kurang memandang wajah Mahesa Jenar dengan keheran-heranan. Mahesa Jenar tahu betul bahwa yang mereka jumpai bukanlah pemburu-pemburu. Tetapi meskipun demikian ia sama sekali tidak berkata apa-apa. Ia tidak tahu, apakah maksud Mahesa Jenar dengan berkata demikian.“Suatu kehormatan bagiku,” tiba-tiba Ki Ageng Gajah Sora berkata, “Sekian banyak pemburu-pemburu telah memerlukan datang berburu ke wilayah Banyu Biru. Memang sebelum ini, sering benar orang pergi berburu babi hutan. Tetapi sekian banyak orang sekaligus adalah suatu hal yang jarang-jarang sekali terjadi.”Sementara itu, Mahesa Jenar selalu berusaha untuk memperhatikan wajah Ki Ageng Lembu Sora. Tetapi ternyata wajah itu tidak menunjukkan perubahan. Ia mendengarkan saja percakapan Mahesa Jenar dengan Gajah Sora tanpa menaruh perhatian udara menjadi semakin panas, maka Ki Ageng Lembu Sora beserta para pengiringnya dipersilakan beristirahat di gandok kulon, sedang Mahesa Jenar dipersilakan untuk makan siang bersama Arya, sebab yang lain telah Mahesa Jenar makan, ia sempat melihat kesibukan Gajah Sora. Rupanya laporannya menarik perhatiannya. Ia memerintahkan beberapa orang untuk melihat lihat keadaan kota di bagian timur, sedang beberapa orang lain diperintahkan untuk mengelilingi bagian kota yang lain. Sesudah makan, Mahesa Jenarpun segera kembali ke ruangnya di gandok wetan. Tetapi baru saja ia membaringkan dirinya, didengarnya seseorang mendatanginya. Ternyata orang itu adalah Ki Ageng Gajah Sora.“Adi...” kata Gajah Sora sambil duduk di atas bale-bale panjang di sisi tempat berbaring Mahesa Jenar.“Aku sangat tertarik kepada ceriteramu.”Mahesa Jenar pun segera bangkit. “Memang, orang-orang yang aku jumpai itu menarik perhatian, Kakang,“ jawabnya.“Bagaimanakah pertimbanganmu tentang orang-orang itu, Adi?” tanya Gajah Sora.“Kesannya kurang baik,” jawab Mahesa Jenar. “Dan rupa-rupanya Kakang telah mengambil tindakan yang benar. Memerintahkan beberapa orang untuk berjaga-jaga. Mereka, orang-orang berkuda itu, aku kira sedang berada di hutan-hutan, menanti saat untuk bertindak. Tetapi aku tidak tahu apakah yang akan mereka lakukan.”“Limabelas orang adalah jumlah yang kecil, Adi,” kata Gajah Sora. “Tetapi mungkin tidak hanya itu. Dan apabila mereka dikendalikan oleh tangan yang baik, maka akibatnyapun besar pula.”“Nah, baiklah kita tunggu laporan orang-orangku sambil berjaga-jaga. Sekarang aku persilakan Adi beristirahat.”Kembali Mahesa Jenar ditinggalkan seorang diri di dalam ruang itu. Ia mencoba membayangkan kembali wajah-wajah orang-orang berkuda yang ditemuinya sesuatu akan terjadi di kota ini. Terbayanglah dalam angan-angannya beberapa puluh orang berkuda sedang merayap-rayap mendekati kota, yang selanjutnya pasti akan membuat keributan. Kalau mereka merasa cukup kuat, mungkin mereka akan menyerbu rumah ini untuk mengambil Keris Nagasasra dan Sabuk kemudian Mahesa Jenar mendengar derap kuda memasuki halaman. Dari celah- celah pintu yang tidak tertutup rapat, ia dapat melihat Wanamerta dengan beberapa orang pengiring memasuki halaman. Meskipun Wanamerta telah lanjut usia, tetapi nampaklah betapa tangkasnya ia meloncat turun dari langkah yang tergesa-gesa, Wanamerta naik ke pendapa untuk menemui Ki Ageng Gajah Sora. Tetapi sejenak kemudian ia telah turun kembali. Dipanggilnya beberapa orang pengiringnya untuk diberi perintah-perintah. Setelah itu segera orang- orangnya meloncat ke atas kuda masing-masing dan sekejap kemudian mereka telah lenyap di balik regol Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ia lega melihat kecepatan bertindak Gajah Sora. Tetapi ia sama sekali tidak berani mencampurinya apabila tidak orang-orang itu telah pergi, Wanamerta kembali ke pendapa, untuk mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan Ki Ageng Gajah itu wajah langit di sebelah barat mulai membayang cahaya kemerah-merahan. Dan sejalan dengan semakin rendahnya matahari, hati Mahesa Jenar menjadi semakin tegang pula. Teringat jelas kata-kata Sima Rodra tua bahwa ia sama sekali belum melepaskan keinginannya untuk memiliki kembali keris Nagasasra dan Sabuk Jenar mulai menghubung-hubungkan, apakah orang-orang berkuda itu mempunyai hubungan dengan kata-kata Sima Rodra lagi ia mendapat suatu kesimpulan apapun, maka masuklah seseorang ke dalam ruangannya untuk meminta Mahesa Jenar naik ke dalam pendapa itu ternyata telah hadir pula kecuali Wanamerta, juga Ki Ageng Lembu Sora dan beberapa orang pengiringnya. Juga tampak beberapa orang pembantu Gajah Sora dalam melakukan tugasnya sebagai kepala daerah beberapa tokoh itu, Mahesa Jenar teringat pada masa-masa ia masih menjadi seorang prajurit. Sesudah itu, ia biasa menghadapi setiap masalah seorang diri. Dan sekarang ia akan menghadapi suatu masalah, dimana ia tidak berdiri sendiri. Karena itu disamping ketegangan yang ada di dalam hatinya, sedikit membersit kegembiraannya Ki Ageng Gajah Sora pada saat itu sedang membicarakan masalah orang-orang berkuda yang berada di sekitar kota. Orang-orang berkuda itu tidak saja datang dari arah timur seperti yang ditemui oleh Mahesa Jenar, tetapi menurut laporan, orang-orang berkuda semacam itu datang pula dari arah barat. Maka jelaslah sudah bahwa mereka mempunyai maksud yang pertemuan itu Mahesa Jenar mendengar pula kesediaan Ki Ageng Lembu Sora untuk tidak pulang pada hari itu. Ia bermaksud untuk turut serta berjaga-jaga apabila ada hal-hal yang tidak dikehendaki.“Adi Mahesa Jenar... sebenarnya aku tidak mau mengganggu kesenangan Adi di Banyu Biru ini sebagai seorang tamu. Tetapi tiba-tiba keadaan orang-orang itu mendatangi daerah yang tak berarti sama sekali ini. Kalau mereka bermaksud merampas harta benda, maka di daerah miskin ini sama sekali akan mengecewakan mereka. Tetapi bagaimanapun kami terpaksa mempertahankan diri terhadap apapun yang pernah kami miliki,” kata Gajah Sora beberapa saat itu tegas bagi Mahesa Jenar. Meskipun Gajah Sora tidak menyebut-nyebut tentang kedua pusaka simpanannya, tetapi ia telah minta kepada Mahesa Jenar untuk bersama-sama mempertahankan pusaka-pusaka itu. Sementara itu, terdengarlah derap kuda dengan kencangnya berlari memasuki halaman. Seorang pemuda yang tegap kuat segera menghentikan kuda itu dan langsung meloncat turun. Dengan langkah yang tergesa-gesa ia naik ke pendapa menghadap Ki Ageng Gajah wajahnya, pasti ia membawa sesuatu berita yang penting. Untuk beberapa lama ia tidak berkata apa-apa sambil memandangi orang-orang yang hadir. Tampaknya ia ragu-ragu untuk menyampaikan Ageng Gajah Sora melihat keragu-raguannya, maka katanya, “Katakanlah apa yang telah kau lihat.”“Ki Ageng...” katanya di sela-sela nafasnya yang mengalir cepat, “Pasukan Paman Sanepa telah terlibat dalam suatu pertempuran dengan kira-kira 30 orang berkuda yang datang dari arah barat.”“Tigapuluh...?” ulang Gajah Sora. “Ya, Ki Ageng,” jawab pemuda itu.“Berapa orang yang dibawa oleh pamanmu?” tanya Ki Ageng. “25 Orang, Ki Ageng,” jawabnya.“Seimbang,” kata Ki Ageng. “Tetapi kau boleh membawa orang-orang Sanjaya bersamamu. Nah, pergilah. Di sana ada 10 orang.”“Baik, Ki Ageng.” Lalu dengan tangkasnya ia meloncat turun dan dengan kecepatan luar biasa, ia naik ke punggung kudanya. Sekejap kemudian derap kuda itu telah semakin jauh dan lenyap.“Kita sudah mulai,” kata Gajah Sora yang tampaknya masih tenang saja.“Kakang Wanamerta,” sambung Gajah Sora, “Suruhlah membunyikan tanda bahaya, supaya orang-orang kita di segenap arah mempersiapkan diri dan mengerti bahwa di salah satu sudut kota ini telah terjadi bentrokan.”Wanamerta segera memerintahkan seorang untuk membunyikan tanda bahaya. Dan sebentar kemudian telah meraung-raung hampir di seluruh kota Banyubiru, bunyi titir yang yang duduk di pendapa itu wajahnya menjadi bertambah tegang. Mereka masih menanti perintah, apakah yang harus mereka Ki Ageng Gajah Sora sendiri dapat melakukan tugasnya dengan tenang dan tidak saat itu gelap malam telah mulai turun. Batang-batang pohon di halaman menjadi semakin kabur diselubungi oleh kehitaman malam yang bertambah di daerah utara tampaklah langit berwarna darah. Disusul oleh bunyi kentongan tiga kali lima kali ganda, berturut-turut.“Kebakaran,” kata mata yang memancarkan kemarahan Ki Ageng Gajah Sora memandang kearah langit yang membara diarah utara itu. Tetapi meskipun demikian ia masih bersikap tenang.“Siapakah yang berada di sana?” tanya Gajah Sora kepada Wanamerta. “Adi Pandan Kuning,” jawab Wanamerta singkat.“Pandan Kuning...?” ulang Gajah Sora. “Ya.”“Kalau begitu mereka pasti terdiri dari orang-orang pilihan pula, sehingga di hadapan Paman Pandan Kuning, mereka berhasil membakar rumah,” kata Gajah Sora hampir bergumam.“Paman...,” kata Gajah Sora kemudian, “Suruh seseorang sediakan kuda-kuda kami.”Meskipun kata-kata itu diucapkan dengan perlahan-lahan tetapi artinya adalah besar sekali. Gajah Sora sendiri telah merasa perlu untuk sewaktu-waktu bertindak. Menurut perhitungannya, orang-orang yang mendatangi Banyubiru itu pasti terdiri dari orang- orang yang tak dapat tidak lagi mau membuang waktu. Maka segera diperintahkan seorang untuk menyiapkan kuda-kuda mereka. Berbareng dengan itu Ki Ageng Lembu Sorapun telah memerintahkan orangnya untuk mempersiapkan kuda-kuda mereka orang-orang itu menyiapkan kuda di halaman, muncullah diantara mereka Arya dengan dua ekor kuda di tangannya. Seekor berwarna hitam mengkilat dan yang seekor lagi berwarna abu-abu.“Inilah kuda Paman,” teriaknya kepada Mahesa Jenar. Mahesa Jenar terkejut melihat Arya hadir dalam kesibukan itu. “Kau mau kemana, Arya?” tanya Mahesa Jenar.“Aku ikut Paman ke tempat kebakaran itu,” jawabnya. “Arya..., potong Gajah Sora, Kau jangan menambah kesibukanku dan pamanmu. Masuklah ke dalam. Kalau kau mau pergi juga, seterusnya aku tak mau mengajari kau sama sekali.”Arya memandang ayahnya dengan penuh kecewa. Tetapi ia sama sekali tidak berani membantah. Sebab dalam saat-saat yang demikian ayahnya memang dapat bertindak agak keras itu keributan semakin menjadi-jadi. Orang-orang Banyubiru adalah orang- orang yang cukup terlatih di bawah pimpinan Gajah itu di beberapa tempat yang juga timbul pertempuran-pertempuran, Laskar Banyubiru segera dapat menguasai keadaan. Tetapi di bagian barat dan utara, ternyata kekuatan mereka tak dapat dianggap pendapa, Ki Ageng Gajah Sora beberapa kali menerima penghubung-penghubung dari daerah pertempuran, dan dengan cermatnya ia memberikan perintah dan petunjuk- tiba-tiba orang-orang yang berada di pendapa itu bersama-sama digetarkan oleh bunyi kentongan dua-tiga-dua-tiga dari arah utara, sedangkan api tampak semakin menjalar ke beberapa bunyi kentongan itu, kemarahan Gajah Sora tak dapat dikendalikan lagi. Bunyi kentong dua-tiga-dua-tiga mempunyai arti yang sama sekali tidak menyenangkan. Tanda itu mengatakan bahwa Laskar Banyubiru terdesak gigi yang terkatub rapat, Gajah Sora terloncat dari duduknya. “Setan manakah yang mencoba mengganggu ketenteraman Banyubiru?” katanya geram.“Paman Wanamerta...” kata Gajah Sora kepada Wanamerta, “Aku akan pergi ke tempat itu. Rupanya kekuatan lawan dipusatkan di sana. Berilah tanda supaya sebagian dari pasukan cadangan dikerahkan ke utara.”Segera Wanamerta memerintahkan memukul kentongan dua-empat-dua-empat berturut- turut. Bersama dengan itu Gajah Sora meloncat ke atas kudanya. Adi Lembu Sora dan Mahesa Jenar, marilah kita lihat daerah itu, Jenar nampak ragu sebentar. Kalau mereka seluruhnya meninggalkan tempat itu, lalu bagaimanakah dengan keris yang disimpan oleh Gajah Sora?Rupanya keragu-raguan itu diketahui oleh Gajah Sora.“Tak seorang pun yang akan dapat mengalahkan Paman Pandan Kuning kalau bukan seorang yang luar biasa hebatnya. Jadi menurut perhitunganku, pimpinan dari gerombolan itu berada di sana. Biarlah rumah ini aku serahkan kepada Paman Wanamerta dan Paman Sawungrana. Aku percaya kepada Paman berdua dengan beberapa orang pasukannya. Berilah aku tanda kalau keadaan memaksa. Ingat Paman, tak seorangpun boleh menginjakkan kakinya di halaman rumah ini.”“Baik Anakmas, aku akan menjaganya,” jawab Wanamerta. “Siapa yang di halaman belakang?” tanya Gajah Sora. “Panjawi dengan laskarnya,” jawab Wanamerta.“Bagus, aku percaya pula pada anak muda itu. Kelak ia pasti menjadi seorang prajurit pilihan. Nah, Paman... aku akan berangkat.”Sekejap kemudian Gajah Sora mendera kudanya dan lari dengan Sora dengan beberapa pengiringnya segera menyusul dan yang paling belakang adalah Mahesa Jenar dengan kuda abu-abu yang dibawa oleh Arya segera iring-iringan itu meluncur seperti angin ke arah tempat kebakaran di sebelah utara Banyubiru di kaki bukit Telamaya. Dari tempat yang agak tinggi di luar halaman, mereka dapat melihat dengan jelas api yang berkobar-kobar di beberapa nyala api itu, hati Gajah sora menjadi semakin panas. Ia memacu kudanya lebih laju lagi. Kuda yang telah berlari sekuat tenaga itu menurut perasaan Gajah Sora seperti ular yang merambat di dedaunan. Lambat akhirnya dengan menahan kekesalan hati, mereka sampai juga di tempat pertempuran. Dari jarak yang cukup, Gajah Sora dengan rombongannya dapat melihat arena pertempuran yang terjadi di pinggir sebuah pertempuran itu telah berlangsung dengan serunya. Di kedua belah pihak telah jatuh beberapa orang pasukan-pasukan cadangan Banyubiru yang dipimpin oleh Ki Bantaran telah tiba di tempat itu dan telah pula melibatkan diri dalam pertempuran. Dalam pengamatan yang sebentar itu Gajah Sora melihat betapa kuatnya pihak dari bekas-bekasnya, ternyata bahwa arena pertempuran itu telah bergeser agak jauh mendekati perkampungan. Bahkan beberapa orang dari mereka telah membakar rumah-rumah penduduk yang tak hati Gajah Sora semakin menggelora. Karena itu setelah ia menemukan pertimbangan mengenai keseluruhan pertempuran itu, segera ia memberikan perintah. “Lembu Sora... bawalah anak buahmu ke sebelah kiri. Lingkari arena ini, dan kau harus dapat menguasai jalan kecil di ujung sawah itu. Kalau aku berhasil mendesak mereka, usahakan jangan dibiarkan mereka lolos. Aku ingin tahu siapa mereka. Bawalah beberapa orang bersamamu.”“Baik Kakang,” jawab Lembu Sora. Setelah itu iapun segera pergi ke tempat yang telah ditentukan. Ia melingkar menyusup perkampungan untuk kemudian muncul kembali menuju ke jalan kecil di ujung keremangan cahaya api yang menjilat ke udara, arena pertempuran itu seolah- olah sengaja dijadikan daerah yang diterangi oleh ribuan obor di Lembu Sora, Gajah Sora dan Mahesa Jenar berdiri mengawasi medan. Mahesa Jenar adalah bekas prajurit pengawal raja. Karena itu ia mempunyai pandangan yang cukup masak mengenai keadaan medan. Maka segera ia melihat kelemahan Laskar Banyubiru.“Kakang, menurut pengamatanku, letak kesalahan Laskar Banyubiru adalah, beberapa orang yang cukup masak berkumpul di dalam satu titik. Sehingga di bagian-bagian lain banyak terdapat kelemahan,” kata Mahesa Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kau benar Adi Mahesa Jenar. Aku melihat pula kelemahan itu. Tetapi pastilah mereka menghadapi keadaan darurat. Bahkan Bantaran pun telah terlibat dalam perkelahian di titik itu,” jawabnya.“Siapakah yang bersenjatakan pedang panjang serta melompat-lompat dengan lincahnya itu?” tanya Mahesa Jenar.“Itulah Pandan Kuning,” jawab Gajah Sora. Yang bersenjata tombak itu adalah Bantaran. Lainnya adalah orang-orang pilihan dari Laskar Banyubiru.”“Kakang...” tiba-tiba Mahesa Jenar berkata agak terkejut, Rupanya mereka hanya melawan satu orang saja.”Gajah Sora mempertajam pandangannya. Nyala api yang berkobar-kobar di sekitar daerah pertempuran itu membuat ratusan bayangan dari orang-orang yang bertempur itu, beraneka ragam. Ada yang panjang, ada yang besar seperti raksasa yang meloncat-loncat menerkam mangsanya. Karena itu keadaan medan menjadi agak kabur.“Aku kira tidak hanya seorang, Adi, tetapi dua orang,” jawab Gajah Sora.“Ya, dua orang, sambung Mahesa Jenar hampir berteriak, Dan aku pernah mengenal kedua orang itu.”Hampir saja Mahesa Jenar meloncat menyerbu. Tetapi tiba-tiba dilihatnya Lembu Sora telah mendahuluinya dari arah belakang. Lembu Sora menyambar dari atas kudanya seperti seekor elang yang sedang marah. Geraknya tangkas dan tangguh. Rupanya ia adalah seorang yang ahli bertempur di atas kuda. Pandan Kuning, Bantaran, dan lebih dari tujuh orang bertempur bersama-sama melawan dua orang. Tetapi dua orang itu ternyata tangguh sekali. Sehingga sampai sekian lama kedua orang itu masih tampak segar dan mereka mendapat bantuan Lembu Sora. Ternyata Lembu Sora juga tidak mengecewakan. Ia bersenjatakan sebuah pedang yang panjang dan besar. Pedang itu di tangannya yang kokoh kuat, hanya seperti setangkai lidi yang berputar-putar dan berkilauan kena cahaya jarak yang agak jauh itu, terdengar tidak jelas Lembu Sora memberikan aba-aba, dan sebentar kemudian keadaan segera berubah dengan cepatnya. Pandan Kuning dengan kawan-kawannya segera memotong batas kedua lawannya, sedang Lembu Sora dengan garangnya menyerang yang seorang dari mereka. Maka segera terjadi dua lingkaran pertempuran. Lembu Sora melawan seorang, sedang seorang lagi harus melayani Pandan Kuning dan kawan-kawannya.“Anak itu punya otak juga,” gumam Gajah Sora. “Ia pasti bermaksud membunuh seorang demi seorang.”“Bukankah ia putra Ki Ageng Sora Dipayana pula?” kata Mahesa Jenar. Gajah Sora tersenyum.“Sayang ia agak bengal,” Jenar tidak menjawab, perhatiannya terikat sekali pada pertempuran yang berlangsung dengan hebatnya. Tetapi kemudian ia menjadi agak bingung melihat ketidak-wajaran dalam pertempuran itu.“Kakang Gajah Sora, tidakkah Kakang melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya?” ”Ya.” jawab Gajah Sora. Rupa-rupanya ada pertempuran segitiga di daerah ini. “Tepat,” Kakang, kata Mahesa Jenar.“Lalu apakah yang akan kita lakukan?”“Biarlah Lembu Sora dan Paman Pandan Kuning melayani lawannya yang rupa-rupanya tidak terlalu membahayakan,” jawab Gajah Sora.“Marilah kita bersihkan saja yang lain, baru kita membantu menangkap kedua orang itu,” kata Gajah Sora selanjutnya. Sehabis berkata demikian, Gajah Sora mendera kudanya langsung terjun ke dalam kancah Gajah Sora, Mahesa Jenar masih beberapa saat berdiri mengawasi medan. Rupanya Gajah Sora ingin mempergunakan siasat lawan untuk memukul mereka kembali. Pemimpin-pemimpin gerombolan penyerbu itu agaknya telah mengatur siasat dengan cermatnya. Mereka berhasil memancing tokoh-tokoh Laskar Banyubiru untuk berkumpul di dalam satu lingkaran, sedang orang-orangnya akan menjadi agak leluasa untuk menjalankan pengacauan dan Sora memaklumi siasat itu. Dan ia juga tidak dapat menyalahkan pemimpin pemimpin laskarnya untuk mengepung pimpinan gerombolan yang tangguh itu. Sebab apabila mereka tidak menghadapi bersama-sama, maka dengan mudahnya mereka akan dibinasakan satu demi itu, Gajah Sora berhasrat memecahkan siasat itu dengan merusak barisan laskar gerombolan itu. Dengan demikian pemimpin-pemimpin mereka pasti akan mendatanginya tanpa diminta. Sebab pastilah mereka menyangka bahwa tak seorang pun akan mampu menahan laskar mereka yang mereka perkuat, meskipun ada laskar lain yang ada diluar perhitungan, sehingga terpaksa terjadi pertempuran salah satu dari mereka ternyata telah berhasil dengan siasat mereka, dan membakar rumah penduduk yang tak berdaya. Sedang di dalam perhitungan mereka, Gajah Sora sendiri akan tetap berada di rumahnya untuk menjaga pusaka-pusaka yang yang masih belum dapat dipecahkan, baik oleh Mahesa Jenar maupun Gajah Sora, adalah adanya dua laskar yang dalam waktu bersamaan menyerang mereka bertempur pula satu sama lain, meskipun maksud mereka hampir jelas, yaitu menginginkan pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk itu Mahesa Jenar juga sangat tertarik ketangguhan dua orang tokoh gerombolan yang dengan tangkasnya dapat mempertahankan diri dari kepungan Pandan Kuning serta berlangsung terus dengan hebatnya. Laskar Banyu Biru telah berjuang mati-matian untuk mencoba mempertahankan tanah mereka serta seluruh munculnya Lembu Sora, keadaan sudah mulai berubah. Lembu Sora ternyata juga merupakan seorang laki-laki yang luar biasa. Pedangnya yang terlalu besar menurut ukuran biasa itu berputar seperti baling-baling yang dengan dahsyatnya selalu melingkari lawannya dengan serangan-serangan lawan Lembu Sora pun memiliki kelincahan yang luar biasa. Sayang bahwa jarak mereka agak jauh dari Mahesa Jenar. Apalagi prajurit-prajurit yang sedang bertempur itu selalu bergerak-gerak membayangi pandangannya, sehingga ia tidak dapat melihat dengan tertarik kepada kedua orang pemimpin gerombolan yang perkasa itu, Mahesa Jenar ingin lebih mendekat lagi. Maka segera ia turun dari kudanya dan mengikatkan kuda itu pada sebatang pohon. Dengan perlahan-lahan, ia menerobos medan yang sedang ribut, ia berjalan mendekati Lembu kali Mahesa Jenar mendapat serangan dari laskar-laskar gerombolan itu, tetapi dengan satu-dua gerakan saja Mahesa Jenar telah dapat merobohkan bagian lain, di tengah pertempuran itu tiba-tiba terdengar sorak sorai yang riuh rendah. Rupanya Laskar Banyubiru ketika melihat kepala daerah mereka yang perkasa terjun ke arena, mereka menjadi gembira seolah-olah tubuh mereka masing-masing mendapat tambahan kekuatan yang hebat. Karena itu mereka bersorak-sorak gemuruh. Dan bersamaan dengan itu gerak mereka menjadi lebih sorai itu segera disambut oleh hampir seluruh Laskar Banyubiru yang berada di arena kehadiran Lembu Sora, Gajah Sora dan Mahesa Jenar, segera keadaan medan menjadi berubah. Laskar dari kedua gerombolan yang semula bertempur satu sama lain, memusatkan kekuatan mereka untuk menggempur Laskar demikian, Laskar Banyubiru kini kekuatannya sudah jauh dengan itu, lawan Pandan Kuning yang semula bertempur berpasangan, dan kemudian harus melawan seorang diri, merasakan juga tekanan yang semakin berat. Karena itu ia bertempur semakin seru serta mengerahkan seluruh tenaganya. Apalagi ketika didengarnya Laskar Banyubiru dari arah lain terdengarlah sebuah suitan nyaring. Disusul dengan bunyi suitan pula dari orang yang sedang bertempur melawan Pandan suitan-suitan itu merupakan tanda-tanda dan perintah. Segera tampaklah beberapa laskar gerombolan berlontaran menyerbu Pandan Kuning dan kawan-kawannya. Mereka mencoba untuk mengganti kedudukan pemimpinnya yang dengan satu gerakan dahsyat memecahkan kepungan Pandan Kuning dan kawan-kawannya. Ia melepaskan diri dari pertempuran itu untuk dapat langsung menghadapi Gajah ketika orang itu telah berdiri di luar lingkaran, Mahesa Jenar segera dapat melihatnya dengan jelas. Dan pada saat itu pula rasanya jantung Mahesa Jenar menggelegak yang memimpin gerombolan itu, dan yang telah bertempur dengan gagahnya, adalah seorang yang bertubuh kekar, berkumis setebal ibu jari, dan di kedua belah tangannya tergenggam dua bilah pisau belati panjang.“Lawa Ijo ” geram Mahesa Jenar diantara suara gemeretak giginya yang beradu dengan dengan gerak tanpa sadar, Mahesa Jenar meloncat lebih dekat lagi untuk mengenali pasangan Lawa Ijo yang sedang bertempur melawan Lembu Sora dengan kekuatan yang seimbang. Orang itu pasti memiliki kekuatan setidak-tidaknya sama dengan Lawa Mahesa Jenar sudah menjadi semakin dekat dan dapat melihat lawan Lembu Sora itu agak jelas, ia menjadi bertambah terkejut lagi. Orang itu adalah seorang laki-laki tampan, dengan sebuah tongkat hitam di tangan kiri yang dipergunakan sebagai perisai, sedang di tangan kanannya tampak sebilah pedang tipis yang permainan gila-gilaan, desis Mahesa Jenar. Tubuhnya menjadi gemetar menahan deru darahnya yang menggelora seperti gemuruhnya air tak disangka-sangka, tiba-tiba ia bertemu dengan orang-orang yang menjadi musuh utamanya. Terutama Lawa Ijo, yang sampai dua kali berhasil melepaskan diri dari Mahesa demikian di dalam hati Mahesa Jenar memuji kekuatan daya tahan tubuh Lawa Ijo yang besar sekali. Beberapa saat yang lalu ia berhasil menghantam Lawa Ijo dengan senjata andalannya, yaitu Sasra Birawa. Tetapi sekarang ia melihat Lawa Ijo telah segar bugar hebatnya daya pengobatan Pasingsingan, namun kalau di dalam tubuh Lawa Ijo itu sendiri belum dialasi oleh kekuatan yang hebat, pastilah ia memerlukan waktu berbulan-bulan untuk dapat sembuh kedua orang itu, Lawa Ijo dan Jaka Soka, yang sebenarnya merupakan saingan yang hebat sekali, untuk sementara dapat bekerja bersama-sama, untuk dapat merampas Kyai Nagasasra dan Sabuk itu, tidak ada suatu hasrat pun yang bergolak di dalam dada Mahesa Jenar pada saat itu, kecuali membinasakan Lawa Ijo dan sekaligus kalau mungkin Jaka Soka. Sebab orang-orang yang berciri watak demikian, merupakan duri yang selamanya selalu akan menyakiti tubuh saat itu Jaka Soka sedang bertempur mati-matian melawan Lembu Sora. Kekuatan keduanya benar-benar Sora kini sudah turun dari kudanya untuk melawan Jaka Soka yang bertempur seolah-olah melilit dan melingkar-lingkar seperti ular. Tetapi dalam pertempuran itu, Jaka Soka benar-benar tak mampu mendekati lawannya yang dapat mengurung dirinya dalam lingkaran sambaran pedangnya yang besar itu. Maka untuk sementara Mahesa Jenar dapat melepaskan Jaka Soka. Syukurlah apabila Lembu Sora berhasil membinasakannya. Tetapi setidak-tidaknya pertempuran itu akan berlangsung lama, sehingga ia akan mendapat kesempatan untuk menemaninya bermain, setelah ia membinasakan Lawa Jenar pada saat itu telah memutuskan untuk tidak memperpanjang waktu. Ia sudah bersedia untuk mempergunakan ilmunya Sasra Birawa dalam pukulannya yang pertama. Ia tidak mau didahului oleh Gajah Sora dengan Lebur Seketinya untuk membinasakan Lawa kembali dadanya terguncang. Ketika ia sudah hampir meloncat ke arah Lawa Ijo, tiba-tiba dari antara laskar yang bertempur itu meloncatlah seorang yang berperawakan tinggi besar berambut lebat dengan kumis dan janggut yang lebat bersenjata tombak pendek. Dan bersamaan dengan serangannya yang menderu seperti angin ribut itu, terdengar suaranya mengaum dahsyat seperti seekor harimau yang sedang marah.“Kau gila Lawa Ijo...,” teriaknya. Jangan mencoba menghalangi aku atau mendahului Ijo tampaknya agak terkejut mendapat serangan itu. Tetapi ia adalah seorang yang tangkas. Karena itu, dengan satu loncatan ia berhasil membebaskan dirinya. Bahkan kemudian terdengarlah suara tertawanya yang menyeramkan.“Kita sama-sama mengail di satu kolam, Harimau jelek,” katanya kemudian. “Apakah salahnya?”“Tetapi akulah yang paling berhak atas keris-keris itu,” jawab orang yang tinggi besar itu, yang tidak lain adalah Sima Rodra muda dari Gunung Lawa Ijo tertawa pendek, “Salahmulah bahwa keris-keris itu sampai terlepas dari tanganmu.”Sima Rodra muda itu tidak menjawab, tetapi segera ia melanjutkan serangannya dengan tombak pendeknya yang dinamainya Kyai Kalatadah, yang pernah hampir saja dicuri oleh anak buah sepasang Uling dari Rawa itu datangnya cepat sekali sehingga Lawa Ijo tidak sempat mengelak. Segera ia menggerakkan kedua pisau belatinya untuk menangkis serangan Sima Rodra. Dua kekuatan yang dahsyat saling beradu. Terdengarlah suara gemerincing nyaring dan bunga api berpencaran di Jenar tertegun melihat kejadian itu. Segera ia mengurungkan niatnya. Dan tiba- tiba saja timbul keinginannya untuk menyaksikan dua tokoh golongan hitam itu mengadu tenaga. Maka segera terjadilah pertempuran yang dahsyat. Kedua-duanya percaya pada kekuatan tubuhnya sehingga tampaknya mereka berdua segan untuk mengelakkan diri dari benturan-benturan. Kedua tangan Lawa Ijo yang memegang dua bilah pisau belati panjang itu menyambar-nyambar, seolah-olah berdatangan dari segala arah. Sedang Sima Rodra dengan dahsyatnya pula memutar tombak pendeknya mengarah ke segenap bagian tubuh Lawa orang tokoh hitam itu, apabila tidak dikendalikan oleh kemarahan yang meluap- luap, pastilah mereka akan menghindari pertempuran. Sebab mereka telah merasa bahwa kekuatan mereka seimbang, sehingga perkelahian yang semacam itu hanya akan membuang-buang waktu waktu yang lalu Lawa Ijo sudah pernah bertempur melawan Sima Rodra. Tetapi tak seorang pun yang dapat mengatasi yang lain. Kemudian setelah beberapa lama mereka berpisah merendam diri untuk mempersiapkan pertemuan terakhir tahun ini, tiba- tiba mereka bertemu dalam satu tujuan yang masing-masing telah mendapat tambahan ilmu yang cukup banyak, namun ternyata kekuatan mereka masih tetap pertempuran itu, hati Mahesa Jenar tergetar juga. Seandainya ia tidak memiliki ilmu sakti Sasra Birawa, mungkin sulit baginya untuk dapat mengalahkan baik Lawa Ijo maupun Sima itu semakin lama menjadi semakin seru. Keduanya ingin dapat menjatuhkan lawannya dengan yang agak mengherankan Mahesa Jenar, kenapa Sima Rodra baru saat itu muncul di arena. “Apakah kerjanya sebelum itu...?” Padahal sesaat sebelum ia menyerang Lawa Ijo, laskarnya sudah jauh terdesak oleh Laskar Banyubiru yang merasa mendapat tenaga baru dengan hadirnya Gajah lain bagian dari pertempuran itu nampak Lembu Sora dan Jaka Soka bekerja keras untuk dapat menguasai lawannya. Tetapi ternyata keduanya pun memiliki kekuatan yang seimbang. Hanya keseimbangan pertempuran diantara laskar-laskar mereka kini telah berubah sama sekali. Laskar Banyubiru dalam waktu yang dekat pasti akan dapat menguasai keadaan, apalagi pada saat itu Gajah Sora dan Mahesa Jenar ada didalam barisan Laskar Banyubiru tanpa ada yang dapat menghalangi gerakan-gerakan sementara itu, tiba-tiba agak jauh di ujung desa, Mahesa Jenar melihat bayangan yang bergerak-gerak dengan kecepatan yang luar biasa. Gerakan-gerakan mereka jauh lebih cepat dan lincah daripada gerakan-gerakan Sima Rodra maupun Lawa Mahesa Jenar tertarik pada bayangan itu. Dan untuk sementara ia lupa bahwa ia sedang menonton pertempuran antara dua orang tokoh hitam yang gagah itu. Oleh karena itu ia segera meloncat memburu ke arah bayangan yang tampaknya hanya samar-samar, dan selalu bergerak-gerak itu. Ketika sudah dekat, barulah ia dapat melihat agak jelas bahwa dalam kepekatan malam yang hanya dapat dicapai samar-samar oleh sinar-sinar api yang masih berkobar-kobar itu, ada dua orang yang sedang bertempur pertempuran ini sangat mengejutkan hati Mahesa Jenar. Kedua orang yang sedang bertempur itu ternyata memiliki kesaktian yang sangat tinggi. Mereka bergerak-gerak, berputar-putar dan meloncat-loncat seperti tubuhnya tidak memiliki berat. Bahkan kadang-kadang kedua orang itu meloncat tinggi berputar di udara, dan kadang-kadang hampir seperti terapung-apung untuk beberapa saat. Tetapi kadang-kadang mereka berubah menjadi dua orang yang seolah-olah bertubuh besi yang saling membentur, menghantam dengan kuatnya, seakan-akan mereka bukan manusia-manusia yang tubuhnya terdiri dari daging dan tulang-tulang yang dapat bayangan yang bertempur dengan hebatnya itu Mahesa Jenar tertegun heran. Pastilah kedua orang itu memiliki ilmu yang itu, rupanya Gajah Sora melihat pula dua orang yang sedang bertempur itu. Ternyata seperti juga Mahesa Jenar, ia pun berusaha untuk mendekat.“Siapakah mereka?” tanya Gajah Jenar menggelengkan kepala. “Entahlah,” jawabnya.“Marilah dengan hati-hati kita dekati, mereka pasti tergolong dalam angkatan yang jauh di atas kita,” sambung Gajah Jenar tidak menjawab, tetapi apa yang dikatakan oleh Gajah Sora itu memang sudah terpikir olehnya. Karena itu segera ia pun menyusup ke sebuah halaman dan dengan mengendap-endap bersama Gajah Sora, berusaha untuk mendekati dua orang yang sedang bertempur dengan hebatnya mendekati tempat pertarungan itu tidaklah sulit bagi Mahesa Jenar dan Gajah Sora, sebab mereka bertempur di satu tempat yang sempit tanpa berkisar dari satu titik, yaitu di tengah jalan dusun di ujung dekat mereka dengan titik pertarungan itu, menjadi semakin jelas pula ketinggian ilmu kedua orang yang bertanding itu. Mereka saling menghantam, menangkap dan membanting lawannya. Tetapi demikian salah seorang terlempar ke atas tanah, demikian ia melenting dan tegak kembali untuk dalam sekejap telah dapat membalas menyerang Sora dan Mahesa Jenar tergolong orang-orang yang memiliki kesaktian yang tidak kecil artinya di kalangan orang-orang perkasa. Tetapi melihat cara kedua orang itu bertempur terasalah bahwa ilmu mereka itu baru merupakan ilmu yang permulaan mereka berdua, Gajah Sora dan Mahesa Jenar, sedang terikat oleh pertempuran itu, tiba-tiba terdengarlah salah seorang diantara mereka berkata, “Hei, apa kerjamu di sini?”Gajah Sora dan Mahesa Jenar terkejut bukan main. Mereka berdua berada di tempat yang terlindung dan gelap. Sedangkan mereka berdua saja masih belum sempat menyaksikan kedua orang yang berdiri di tengah jalan itu dengan baik, tetapi justru salah seorang diantaranya sudah dapat melihat mereka yang sementara Gajah Sora dan Mahesa Jenar masih berdiam diri. Mungkin bukan mereka yang disapa.“Rupa-rupanya kau sengaja memanggilnya supaya membantumu,” jawab yang lain masih sambil bertempur.“Tutup mulutmu,” bentak yang lain pula. Jangan terlalu sombong. “Kau kira bahwa aku tak mampu melawanmu.”Yang lain diam tak menjawab, tetapi rasanya mereka bertempur semakin sesaat kemudian Gajah Sora dan Mahesa Jenar masih belum menjawab, kembali terdengar suara orang yang pertama.“Hai Gajah Sora dan Mahesa Jenar, kenapa kau berdiri seperti patung di situ?”Mendengar nama mereka disebut, baru Gajah Sora dan Mahesa Jenar yakin bahwa benar-benar mereka berdualah yang disapa oleh orang itu. Tetapi belum lagi salah seorang menjawab, terdengar suara orang kedua, “Hei, kenapa kalian tak membantu bapakmu yang sudah hampir kehabisan napas?”Mendengar kata-kata itu, Gajah Sora dan Mahesa Jenar tersentak. Mereka tidak perlu lagi bersembunyi-sembunyi. Karena itu mereka berdua meloncat mereka sudah demikian dekat, barulah mereka tahu bahwa benar-benar Ki Ageng Sora Dipayana yang sedang bertempur dengan dahsyatnya itu melawan seorang bertubuh raksasa yang mempunyai kesaktian sejajar pula. Tetapi rasa-rasanya mereka masih belum mengenal orang itu.“Gajah Sora...” kata Ki Ageng Sora Dipayana tanpa mengalihkan perhatiannya sedikitpun dari lawan-lawannya. “Kenapa kau begitu bodoh meninggalkan rumahmu tak terjaga?”“Paman Wanamerta, Sawungrana dan Panjawi dengan pasukannya berjaga-jaga di sana, Ayah,” jawabnya.“Apa arti dari mereka bertiga. Pulanglah. Ajak Mahesa Jenar. Tinggalkan Lembu Sora bersamaku di sini,” perintahnya. “Bukankah laskarmu di sini tidak banyak menderita kekalahan?”“Mereka memberikan tanda kekalahan itu, Ayah,” jawab Gajah Sora.“Akh... kau memang terlalu muda digugah kemarahan Gajah Sora. Prajurit Banyubiru meskipun terpaksa menarik pasukannya beberapa kali tetapi masih belum memberi tanda kekalahan. Paling-paling mereka akan minta bantuan laskar cadangan.”“Tetapi tanda itu telah dibunyikan, Ayah ” Gajah Sora mencoba Ageng Sora Dipayana Dipayana masih melayani lawannya dengan gigih. Mereka bertempur dengan cara yang agak membingungkan bagi Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Tubuh mereka seolah-olah menjadi kebal dan tidak dapat disakiti oleh pukulan yang bagaimanapun kerasnya. Karena itu baik Gajah Sora maupun Mahesa Jenar tidak tahu bagaimana terbuka kemungkinan untuk dapat memenangkan pertempuran itu."Gajah Sora... yang membunyikan tanda itu bukanlah Laskar Banyubiru. Tetapi itu hanyalah suatu cara buat menarikmu untuk datang ke daerah pertempuran ini," kata Ki Ageng Sora keterangan ayahnya, hati Gajah Sora terguncang hebat. Karena itu segera ia meloncat meninggalkan tempat itu untuk segera kembali ke rumahnya."Gajah Sora " panggil ayahnya sebelum Gajah Sora jauh. Gajah Sora berhenti sejenak."Suruhlah Pandan Kuning, Bantaran, Panunggal dan beberapa orang kemari. Suruhlah mereka membawa tali yang kuat untuk mengikat kucing sakit-sakitan ini.""Hemmm !" geram lawannya. "Kau kira kau bisa menangkap aku?""Kalau dalam keadaan keseimbangan... setetes air akan mempunyai pengaruh untuk mengubah keseimbangan itu. Maka kedatangan beberapa orang yang tak berarti itu pasti mempunyai akibat yang tak kau harapkan," jawab Sora Dipayana."Setan tua..., kau licik sekali!", Kembali orang itu menggeram berusaha menangkap seorang penyerang."Apakah itu licik?", jawab Sora Dipayana."Nah Gajah Sora dan Mahesa Jenar," berangkatlah, katanya kepada Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Gajah Sora dan Mahesa Jenar segera berlari meninggalkan tempat itu, sambil memberi aba-aba kepada Pandan Kuning dan kawan-kawannya. Apalagi pada waktu itu keadaan pertempuran seolah-olah sudah hampir seluruhnya dapat dikuasai oleh Laskar Banyubiru, kecuali pertarungan antara Sima Rodra muda dengan Lawa Ijo serta Jaka Soka melawan Lembu Sora cepat-cepat melompat ke kuda putihnya, sedang Mahesa Jenar berlari kencang-kencang ke kudanya yang ditambatkannya tadi. Dan sejenak kemudian mereka telah berpacu ke arah rumah Ki Ageng Gajah pada saat mereka berangkat, demikian pula pada saat itu, rasanya kuda-kuda itu berjalan demikian lambatnya. Beberapa kali mereka mendera kuda mereka untuk segera sampai di rumah. Sebab kalau sampai Ki Ageng Sora Dipayana merasa khawatir, maka pastilah ada sesuatu yang mengancam keselamatan pusaka-pusaka yang saat mereka meninggalkan arena pertempuran itu, mereka masih dapat mendengar suara lawan Ki Ageng Soradipayana itu mengaum seperti seekor harimau, dan sesaat kemudian disahut oleh auman yang menyeramkan pula dari Sima Rodra mereka menoleh, tampaklah sebagian dari laskar yang sedang bertempur itu berloncatan meninggalkan gelanggang, seperti air laut yang sedang surut. Maka dengan cepatnya jumlah laskar itu menjadi mereka sudah tidak punya waktu lagi untuk memperhatikan perubahan itu dengan seksama, sebab pikiran mereka telah lari mendahului ke arah pusaka-pusaka yang mereka demikian Gajah Sora sambil memacu kudanya masih sempat bertanya, "Adi Mahesa Jenar, siapakah kira-kira yang bertempur melawan ayah itu? "Mahesa Jenar menarik keningnya. Lalu jawabnya, "Aku tak dapat mengatakan dengan pasti Kakang. Tetapi aku kira ia adalah Sima Rodra tua dari Lodaya.""Tepat seperti dugaanku," sahut Gajah Sora. "Bulu-bulu yang jarang-jarang yang tumbuh di wajahnya, tubuhnya yang besar seperti raksasa, dan akhirnya teriakannya yang seperti aum seekor harimau. Hanya saja ia tidak mengenakan kerudung kulit harimau hutan seperti pada saat kita jumpai pertama kali. Itu adalah usahanya untuk menyamar sebagai laskar biasa, Kakang."Untunglah bahwa Ki Ageng Sora Dipayana tidak membiarkan daerah ini," kata Mahesa Sora tidak menjawab lagi. Kudanya dipacu semakin kencang. Kudanya adalah kuda pilihan, yang memiliki kecepatan berlari seperti anak panah. Tetapi pada saat itu rasa-rasanya kuda itu berlari seperti keong yang merayap-rayap di batu-batu berlumut. Semakin dekat mereka dengan halaman rumah Gajah Sora, hati mereka menjadi semakin tegang. Pikiran mereka dipenuhi oleh berbagai macam gambaran yang mungkin terjadi pada kedua keris pusaka yang ketika mereka muncul dari sebuah kelokan jalan, terbentanglah di hadapan mereka Alun-alun Banyubiru, dan setelah menyeberangi jalan-jalan itu, mereka akan sampai di rumah Gajah kejauhan, rumah itu nampaknya sepi saja. Tak ada sesuatu yang mencurigakan, apalagi keributan-keributan. Tetapi meskipun demikian hati mereka malahan semakin tampaklah di hadapan mereka, di tengah-tengah alun-alun, di antara dua batang beringin tua yang tumbuh di alun-alun itu, meloncat-loncat dua bayangan dengan gerakan-gerakan mereka adalah dua orang yang sedang bertempur pula, gerakan-gerakan mereka tampak aneh dan cepat seperti dua ekor burung yang sedang berlaga, sambar menyambar. Sebentar mereka berloncatan dan berkelahi diatas dinding pohon beringin yang hanya secengkal tebalnya. Tetapi seolah-olah kaki mereka memiliki alat perekat, sehingga mereka tidak dapat jatuh. Yang mengagumkan kadang-kadang mereka berloncatan dan berkejaran diantara ranting-ranting dan sulur beringin tua itu, dengan gerakan yang seolah-olah mereka berada diatas tanah mereka yang bertempur itu Gajah Sora dan Mahesa Jenar menarik kekang kudanya, dan berhenti beberapa langkah dari pohon beringin itu. Didalam gelap malam serta gerak-gerak yang melontar kesana kemari, agak sulitlah bagi Mahesa Jenar dan Gajah Sora untuk segera mengenal orang yang sedang berkelahi itu. Tetapi menilik gerak serta cara mereka, pastilah mereka tergolong dalam tataran yang sama tinggi dengan Ki Ageng Sora kali Gajah Sora dan Mahesa Jenar melarikan kudanya melingkari pohon beringin itu. Tetapi setiap kali mereka hanya melihat bayangan yang berloncatan dan lenyap di balik pohon beringin bagaimanapun, Gajah Sora dan Mahesa Jenar telah memiliki dasar-dasar ilmu kepandaian yang cukup, sehingga meskipun agak lama akhirnya dengan terperanjat sekali mereka melihat salah seorang diantaranya mengenakan jubah abu-abu dan bertopeng kayu yang kasar buatannya, sehingga mirip dengan wajah hantu.“Pasingsingan,” desis Mahesa Jenar. “Ya, Pasingsingan,” ulang Gajah Sora. Belum lagi mereka dapat mengenal dengan baik yang satu lagi, terdengarlah lawan Pasingsingan itu berkata, “Hai anak-anak bodoh, jangan menonton seperti menonton adu jago. Lebih baik kau pulang dan lihat barang-barangmu.”Mendengar suara orang itu, darah Mahesa Jenar tersirap. Ia pernah mendengar suara itu dan bahkan ia pernah menerima perintahnya untuk mencari keris Nagasasra dan Sabuk dengan tak disengaja ia berteriak, “Bukankah tuan Ki Ageng Pandan Alas” Maka jawab orang itu, “Ingatanmu baik sekali Mahesa Jenar, tetapi lekaslah pergi.”Mahesa Jenar tidak menjawab lagi. Dua tokoh sakti telah memperingatkan mereka mengenai pusaka-pusaka itu. Maka segera mereka memutar kuda mereka dan dilarikan menuju ke halaman rumah Gajah Sora. Dalam waktu yang pendek itu Gajah Sora sempat bertanya, “Beliaukah Ki Ageng Pandan Alas?”“Ya, beliaulah. Apakah Kakang Gajah Sora belum pernah mengenalnya?” kata Mahesa tetapi sudah lama sekali, jawab Gajah itu kuda mereka telah sampai di muka pintu gerbang halaman rumah Gajah Sora. Dua orang penjaga gerbang masih berdiri dengan tegapnya. Ketika mereka melihat Ki Ageng Gajah Sora dan Mahesa Jenar datang, segera kedua penjaga itu membungkuk Sora tidak dapat menunggu lebih lama lagi untuk menanyakan tentang keamanan rumahnya, maka kepada dua orang penjaga itu ia bertanya, “Apakah yang sudah terjadi?”“Tidak ada apa-apa yang terjadi, Ki Ageng,” jawaban itu perasaan Gajah Sora dan Mahesa Jenar agak lega sedikit, tetapi dalam lubuk hati mereka yang paling dalam tersembunyi suatu kebimbangan atas kebenaran keterangan penjaga berdua seolah-olah mendapat suatu firasat yang kurang menenteramkan hati mereka. Maka mereka berdua segera memasuki halaman dan langsung menuju ke pendapa itu tampak Wanamerta dan Sawungrana masih duduk dengan tenangnya. Ketika mereka melihat Gajah Sora dan Mahesa Jenar, segera mereka berdua pun berdiri menyambutnya.”Paman Wanamerta... tidak adakah sesuatu yang terjadi di sini?” tanya Gajah Sora tidak sabar. “Pangestu Anakmas tak ada sesuatu yang terjadi,” jawab Sora menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia tambah lega mendengar jawaban itu. Sebab Wanamerta dan Sawungrana bukanlah anak kecil yang dapat halaman rumah itu masih nampak beberapa orang laskar yang berjaga-jaga berjalan hilir mudik dengan senjata siap di tangan, sedangkan di gandok kulon, tempat pondokan Ki Ageng Lembu Sora pun masih nampak beberapa orangnya ikut berjaga-jaga.“Bagaimanakah dengan Panjawi?” tanya Gajah Sora pula.“Agaknya juga tidak mengalami sesuatu, Anakmas. Baru saja Adi Sawungrana nganglang ke belakang rumah, dan di sana Panjawi tampak selalu bersiaga,” jawab Wanamerta,“Syukurlah,” desis Gajah semua keterangan itu, gelora perasaan Gajah Sora dan Mahesa Jenar terasa agak mengendor sedikit, setelah mereka mengalami ketegangan perasaan beberapa saat lamanya. Memang sulit untuk dapat memasuki halaman itu tanpa dilihat oleh salah seorang pengawal. Sebab dinding halaman Gajah Sora cukup tinggi dan gerbangnya pun terjaga orang pengawal berjaga-jaga di sekeliling halaman, di setiap tujuh delapan langkah seorang dan melekat dinding halaman. Kalau demikian, maka agaknya peringatan-peringatan yang diberikan oleh Ki Ageng Sora Dipayana maupun Ki Ageng Pandan Alas hanyalah sikap hati-hati dari orang-orang tua belum lagi Gajah Sora dan Mahesa Jenar puas menarik nafas lega, tiba-tiba dikejutkan oleh jerit Arya Salaka dari dalam rumah. Serentak mereka berdiri dan dengan kecepatan yang luar biasa mereka meloncat ke arah suara Arya. Wanamerta dan dua tiga orang yang berdiri paling dekat dengan pintu segera mendorongnya dan meloncat Sora dan Mahesa Jenar rupa-rupanya tidak sabar lagi menunggu Wanamerta yang meskipun geraknya termasuk dalam tataran yang tinggi, untuk bergantian masuk lewat pintu yang hanya satu itu. Karena itu Gajah Sora dan Mahesa Jenar dengan kekuatan penuh menerobos dinding gebyok itu sehingga pecah mereka bersama-sama telah sampai di muka ruangan Gajah Sora, rasa-rasanya darah mereka berhenti masih sempat menyaksikan Arya Salaka terpelanting dan terbentur dinding. Seketika itu juga ia terjatuh dan pingsan. Dari mulutnya meleleh darah merah segar. Sedang di tangannya tergenggam erat sebuah tombak pendek yang juga berlumuran darah. Tombak itu adalah tombak pusaka Ki Ageng Gajah Sora yang bernama Kyai Bancak, hadiah dari Pangeran Sabrang Lor, yang juga bergelar Adipati Unus, pada waktu ia mengikuti pasukan Sabrang Lor itu ke Semenanjung Melayu untuk mengusir penjajahan Portugis. Kyai Bancak sebenarnya adalah pasangan dari pusaka lain yang berupa sebuah di muka pintu kamarnya ia melihat sesosok tubuh yang terhuyung-huyung. Di dadanya tampak luka yang menyemburkan darah. Dalam kejadian yang sekejap itu melayanglah sebuah bayangan yang hampir tak dapat ditangkap oleh penglihatan, menyambar orang yang hampir terjatuh karena luka di dadanya itu. Maka berpindahlah dua buah keris yang dipegang oleh orang yang terluka di dadanya itu ke tangan yang menyambarnya. Itulah Kyai Nagasasra dan Sabuk Sora, Mahesa Jenar dan Wanamerta adalah orang-orang yang memiliki kecepatan bergerak dalam tingkatan yang cukup tinggi. Tetapi terhadap bayangan itu, mereka tak mampu berbuat sesuatu. Mereka hanya melihat bayangan itu lenyap lewat demikian, Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Wanamerta bukanlah orang yang mudah putus asa. Sambil berteriak nyaring Gajah Sora meloncat memburu bayangan itu, disusul oleh Mahesa Jenar dan Wanamerta. Tetapi demikian Gajah Sora muncul di atas atap lewat lobang yang sama, bayangan itu telah lenyap sama itu bergetarlah dada mereka bertiga oleh kemarahan dan keheranan yang bercampur aduk. Bayangan itu seolah-olah adalah bayangan hantu yang tiba-tiba muncul untuk menambah keributan di Banyubiru dan kemudian lenyap seperti lenyapnya asap dihembus bagaimanapun cepatnya bergerak bayangan itu, namun ada sesuatu yang dapat ditangkap oleh Gajah Sora dan Mahesa itu agaknya memakai jubah abu-abu. Tetapi Gajah Sora dan Mahesa Jenar sama sekali tak dapat melihat wajahnya. Namun demikian segera perasaan mereka lari kepada Pasingsingan. Orang itu beberapa saat yang lalu bertempur melawan Ki Ageng Pandan Alas di alun-alun, tak begitu jauh dari rumah itu. Tetapi bagaimana ia dapat berhasil melepaskan diri dari pengawasan Pandan Alas? Maka bergulatlah di dalam otak Gajah Sora dan Mahesa Jenar berbagai pertanyaan. Adakah Pasingsingan berhasil mengalahkan Pandan Alas...?Pada saat itu, lebih-lebih Gajah Sora yang menyaksikan pusaka simpanannya dan yang telah direbutnya dengan taruhan nyawanya hilang tanpa dapat berbuat sesuatu di hadapannya. Juga anaknya dilukai oleh seseorang yang tak dikenal di rumahnya. Seolah- olah di dalam dadanya menyalalah api yang berkobar-kobar dan jauh lebih panas dari api yang menyala-nyala di ujung utara kotanya. Nyala di dalam dadanya ini memancar lewat matanya yang merah berapi-api, giginya gemeretak, dan bibirnya bergerak-gerak. Tetapi tak sepatah kata pun yang terucapkan. Otak Gajah Sora yang cerdas segera dapat meraba apa yang telah terjadi di rumahnya. Rupa-rupanya seseorang telah berusaha untuk mengambil kedua pusakanya. Tetapi malang baginya, sebab Arya dapat mengetahui perbuatan itu sehingga anak yang otaknya cemerlang itu mengintipnya dengan tombak pusaka di pada saat ia keluar dari ruang tidurnya, Arya telah menusuk dada orang itu dengan Kyai Bancak. Tetapi meskipun demikian orang yang sudah pasti bukan orang sembarangan itu dengan sisa tenaganya yang sudah lemah, berhasil menghantam Arya sehingga Arya terlempar dan terbanting membentur dinding. Pada saat itulah datang orang ketiga yang dengan kecepatan seperti cahaya kilat, berhasil merampas kedua pusaka kemarahan yang membentur dinding perasaan Gajah Sora itu tidak lagi dapat dibendungnya. Karena itu dengan gerak yang seolah-olah tak dikuasainya sendiri, ia meloncat terjun dari atap rumahnya. Dengan tangkasnya ia meloncat sambil berlari, tangannya menggapai tombak pusakanya dan menariknya dari tangan Arya, langsung keluar halaman dan sekaligus meloncat ke punggung Jenar dapat menangkap apa yang bergolak di dalam dada sahabatnya, sebab memang ia pun mempunyai rabaan yang sama pula atas kejadian yang baru saja berlalu. Karena itu ia dapat menduga kemana Gajah Sora akan pergi. Pastilah ia akan melihat apakah Pandan Alas masih ada di antara Ringin Kurung dan bertempur dengan Pasingsingan, ataukah Pandan Alas itu sudah tidak berdaya lagi. Maka tanpa berpikir lagi, ia pun meloncat ke atas punggung kudanya dan lari menyusul Gajah yang meskipun dapat mengambil kesimpulan yang sama atas kejadian yang disaksikannya, namun ia sama sekali tidak mengetahui tentang orang yang berjubah abu- abu yang telah dilihat oleh Gajah Sora dan Mahesa Jenar di tengah alun-alun. Karena itu ia menjadi bingung dan tidak tahu apa yang akan sebelum berangkat Mahesa Jenar sempat berkata kepadanya, Paman Wanamerta. Paman tidak perlu ikut bersama kami, jagalah rumah ini baik-baik. Mungkin ada suatu perkembangan keadaan. Aduklah seluruh halaman rumah ini, meskipun kemungkinan untuk menemukan hantu itu tipis itu Mahesa Jenar lenyap pula di atas punggung kuda abu-abu yang berlari dengan derap yang gemuruh seperti badai, mengejar Gajah Sora dengan kuda antara rumah Gajah Sora dan pohon beringin yang berdiri tegak di tengah alun- alun, yang seakan-akan tidak peduli atas apa yang sudah terjadi di sekitarnya itu tidaklah begitu jauh. Karena itu dalam waktu yang singkat mereka berdua telah berhasil mendekati ringin kurung mereka menjadi terkejut dan heran tak habis-habisnya ketika dari jarak yang sudah agak dekat mereka masih melihat dua bayangan yang berloncat-loncat dan melontar kesana kemari diantara sepasang beringin itu. Di sana masih jelas dapat disaksikan Pasingsingan dan Ki Ageng Pandan Alas bertempur. Bahkan semakin sengit. Tetapi jubah yang dipakai oleh orang yang menyambar kedua keris pusaka itu tepat benar dengan jubah yang dipakai oleh dalam keadaan yang biasa, Gajah Sora akan dapat mempertimbangkan bahwa tidak mungkin dalam satu saat Pasingsingan dapat berada di dua tempat dan melakukan dua pekerjaan sekaligus. Tetapi pada saat itu, karena kemarahannya yang meluap-luap, ia membutuhkan wadah untuk kemungkinan sebagai tempat penampungan kemarahan Gajah Sora adalah Pasingsingan yang sedang bertempur dengan Pandan ia tahu bahwa Pasingsingan bukanlah lawannya, karena orang itu memiliki ilmu yang sejajar dengan Ki Ageng Sora Dipayana, namun sama sekali Gajah Sora sudah tidak mampu lagi membuat itu, dengan otak yang buntu, ia memacu kudanya habis-habisan, langsung mengarah kepada kedua orang yang sedang bertempur itu dengan Kyai Bancak siap di sikap Gajah Sora, yang seolah-olah tidak dapat terkendali itu, Mahesa Jenar menjadi cemas. Sebenarnya ia sendiri merasa sangat marah atas hilangnya Nagasasra dan Sabuk Inten, tetapi karena justru hal itu terjadi di rumah Gajah Sora maka Gajah Sora-lah yang merasa lebih bertanggungjawab. Ditambah lagi cedera yang dialami oleh anak satu- satunya. Karena itu bagaimanapun hebatnya kemarahan yang bergolak di dada, Mahesa Jenar masih dapat bersikap lebih segera Mahesa Jenar berusaha sekuat-kuatnya untuk memacu kudanya lebih cepat agar dapat menyusul Gajah Sora, untuk mencoba mencegahnya berbuat sesuatu yang berbahaya. Dibungkukkannya badannya dalam-dalam sampai melekat ke punggung kudanya. Namun kuda Gajah Sora bukanlah kuda bahkan semakin cepat seperti saat itu Gajah Sora sudah tidak dapat berpikir lain, kecuali menyerang Pasingsingan habis-habisan. Ia sama sekali sudah tidak mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi karena perbuatannya ketika jarak mereka sudah semakin dekat, segera Gajah Sora mengangkat tombak pusakanya. Tombak yang jarang sekali keluar dari rangkanya. Tapi kali ini, tombak yang ujungnya sudah membekas darah itu seolah-olah menjadi semakin haus dan bahwa Gajah Sora tidak bermaksud langsung menyerang Pasingsingan dengan tombak di tangan. Ternyata bagaimanapun gelap pikirannya, namun sebagai seorang yang cukup berpengalaman, nalurinya yang tajam masih dapat mempengaruhi hati yang dibakar oleh kemarahan, Gajah Sora mengangkat tombaknya yang bermaksud membinasakan Pasingsingan. Maka dengan sekuat tenaga, bahkan dengan ilmunya Lebur Seketi yang disalurkan lewat tangannya yang memegang tombak pusaka itu, ditambah lagi dengan tenaga dorong dari kecepatan berlari kuda putihnya yang seperti angin, Gajah Sora melepaskan tombaknya ke arah Pasingsingan, yang sedang sibuk melayani Ki Ageng Pandan Gajah Sora itu sama sekali tak diduganya. Meskipun Pasingsingan sudah tahu bahwa Gajah Sora bersenjata, tetapi ia tidak mengira bahwa senjata itu akan dilemparkan kepadanya. Karena itu ketika ia melihat Gajah Sora mengangkat tombaknya, Pasingsingan menjadi saja pada saat itu Pasingsingan berdiri seorang diri, maka serangan Gajah Sora itu tidak akan berarti sama sekali baginya. Tetapi pada saat itu ia sedang bertempur mati- matian melawan Ki Ageng Pandan Alas. Untuk melayani lawannya itu saja Pasingsingan sudah harus mengerahkan segenap tenaganya, apalagi tiba-tiba ia menerima serangan yang cukup berbahaya. Sebab bagaimanapun Gajah Sora bukanlah anak kemarin sore yang dengan begitu saja boleh diletakkan di luar garis. Karena itu ketika Pasingsingan melihat sebatang tombak yang berkilauan, seperti kilat datang menyambarnya, ia menjadi agak demikian ia adalah seorang tokoh yang namanya boleh disejajarkan dengan Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana, Titis Anganten, dan sebagainya. Karena itu, bagaimanapun sulitnya keadaan, masih saja ia mampu suatu gerakan yang sukar dilihat dengan mata, Pasingsingan melontarkan diri jauh ke belakang dan seolah-olah hinggap di atas dinding ringin kurung. Sedang pada saat yang bersamaan, Ki Ageng Pandan Alas meloncat beberapa langkah ke belakang untuk menghindarkan diri dari kaki kuda Gajah Sora yang seakan-akan tidak lagi dapat dikendalikan, seperti pikiran Gajah ketika Gajah Sora melihat bahwa serangannya gagal maka hatinya yang sudah terbakar itu rasa-rasanya menjadi semakin hangus. Dengan sekuat tenaga ia menarik kekang kudanya dan kemudian memutarnya menghadap ke arah Pasingsingan untuk segera menyerangnya kembali. Meskipun ia kini sudah tidak bersenjata namun di telapak tangannya masih tersimpan aji Lebur tiba-tiba Gajah Sora terpaksa mengurungkan serangannya, sebab pada saat itu tiba-tiba terdengarlah Pasingsingan tertawa menggelegar. Meskipun suara tertawanya tidak begitu keras, getarannya memukul-mukul seperti akan memecahkan meskipun tombak Gajah Sora tidak mengenai tubuh Pasingsingan, tetapi karena keadaan yang sulit, Pasingsingan agak terlambat menghindar sehingga tombak yang menyambarnya itu menyobek jubah abu-abunya. Karena itu, ia merasa terhina sekali oleh seorang anak-anak saja. Maka ia menjadi marah sekali. Dan terlontarlah kemarahannya itu lewat suara tertawanya yang Jenar yang pada saat itu telah sampai pula ke tempat itu segera menghentikan kudanya dan memusatkan segala kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh suara tertawa Pasingsingan yang mengerikan itu. Tetapi suara tertawa itu ternyata tidak segera berhenti, malahan semakin berkepanjangan dan merupakan serangan-serangan yang datang bertubi-tubi dengan dahsyatnya. Ia pernah mendengar Lawa Ijo menyalurkan kesaktiannya lewat suara tertawa yang menggeletar, sehingga memerlukan daya perlawanan yang kuat untuk tidak jatuh ke dalam pengaruhnya yang suara tertawa Pasingsingan yang tidak begitu keras itu mengandung tenaga kesaktian yang jauh lebih hebat dari suara Lawa Ijo. Jilid 10“Mereka menuju kemari” desis Gajah Sora.“Ya, mereka menuju kemari” ulang Mahesa Jenar.“Lalu bagaimanakah sebaiknya sikap kita?” Gajah Sora ingin mendapat kondisi tubuh mereka yang hampir remuk itu, sudah pasti bahwa mereka tak akan cepat berbuat apa-apa seandainya yang datang itu akan membahayakan. Karena itu yang sebaik-baiknya bagi mereka adalah menghindari orang-orang berkuda itu.“Dengan keadaan kita seperti ini, sebaiknyalah kalau kita menghindari mereka” Kata Mahesa Jenar.“Baiklah. Marilah kita bersembunyi” jawab Gajah itu, kuda-kuda itu semakin dekat. Segera Gajah Sora dan Mahesa Jenar mencari tempat untuk berlindung, di bawah semak yang lagi mereka selesai menempatkan diri, muncullah dari balik-balik padas beberapa orang berkuda. Meskipun gelap malam masih menyeluruh, tetapi remang-remang mereka dapat juga menyaksikan tubuh-tubuh orang-orang berkuda di muka goa mereka menghentikan kuda mereka, dan langsung dengan suara lantang terdengar salah seorang dari mereka berteriak,“Hei Sima Rodra, sudah gilakah engkau. Kau biarkan semua penjaga-penjagamu tidur?”Suara itu melontar memukul dinding-dinding padas dan dipantulkan kembali berturut- turut beberapa kali. Namun tak ada jawaban yang terdengar. Berkali-kali orang itu berteriak-teriak memanggil, tetapi juga tak pernah ada jawaban. Akhirnya mereka berhenti berteriak-teriak.“Ada sesuatu yang tidak beres. Hai salah seorang dari kamu, bangunkan semua orang yang tidur. Juga pengawal-pengawal gerbang,” kata salah seorang diantara orang-orang itu kepada Ki Lurah, jawab salah satu diantaranya. Dan sejenak kemudian terdengar langkah seekor kuda itu Gajah Sora dan Mahesa Jenar beruntung dapat menyaksikan orang-orang berkuda itu dengan jelas. Yang berkuda paling depan adalah dua orang yang gagah tegap, meskipun badannya tidak begitu besar. Mukanya tampak panjang meruncing, dan masing-masing menggenggam sebuah cemeti panjang. Mereka tampaknya hampir seperti dua orang Mahesa Jenar sedang menduga-duga, terdengarlah Gajah Sora berbisik, Itulah Sepasang Uling dari Rawa Pening. Yang di sebelah kanan itulah yang tua, yang disebut Uling Putih, sedang yang lain adalah Uling Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Itulah mereka yang bernama Uling Putih dan Uling Kuning. Kedatangan mereka sudah pasti untuk menuntut dendam akibat terbunuhnya salah seorang kemudian datanglah beberapa orang berlari-lari ke arah goa itu adalah anak buah Sima Rodra yang tertidur karena kekuatan sirep Gajah Sora. Salah seorang diantaranya, yang gemuk agak pendek, bertubuh kuat seperti seekor orang hutan, maju mendekati sepasang Uling yang masih saja duduk di atas kami untuk Sepasang Uling dari Rawa Pening, kakak-beradik Uling itu sama sekali tak memperhatikan sapa itu. Bahkan salah seorang dari mereka membentak, “Hai, Sakayon, di manakah suami-istri macan liar itu?”Rupanya yang dipanggil Sakayon itu tersinggung juga hatinya. “Buat apa kau cari mereka?” Jawabnya”Jangan banyak cakap. Cari mereka” bentak Uling Sakayon mendengus, “Hemm.... Kau kira kau bisa memerintah aku...?” “Tanyakan dengan baik, aku akan menyuruh salah seorang untuk memanggilnya”Sepasang Uling yang kasar itu menjadi marah. “Kalau kau masih juga berlagak, aku patahkan lehermu” Sakayon sama sekali tidak takut. Malahan terdengar ia tertawa. “Kau jangan main sekarat di sini. Katakan apa perlumu. Kalau suami-istri Sima Rodra tidak ada, akulah yang harus menyelesaikan semua soal” Ternyata Uling Kuning hatinya lebih mudah terbakar daripada kakaknya. Hampir saja ia memutar cemetinya kalau Uling Putih tidak mencegahnya. Sedang Sakayon pun telah pula menarik pedang pendek tetapi besar seperti tubuhnya.“Jangan layani dia, Kuning” kata Uling Putih, sambil menarik kekang kudanya dan melangkah beberapa langkah maju.“Baiklah Sakayon... aku tunduk kepada peraturanmu. Tolong, katakan kepada Suami- Istri Sima Rodra bahwa aku ingin menemui mereka, kata Uling Kuning”Sakayon yang merasa mendapat kemenangan, membusungkan dadanya sambil menjawab, “Itulah namanya tamu yang tahu diri”Lalu katanya kepada salah seorang anak buahnya, “Panggilkan Ki Lurah. Katakan bahwa kakak-beradik dari Rawa Pening ingin menemuinya”Orang yang disuruhnya itu segera berlari ke dalam goa. Tetapi sebentar kemudian ia telah muncul kembali dengan nafas yang terengah-engah.“Kakang Sakayon..., Ki Lurah tidak ada di dalam goa. Bahkan ruang penyimpanan yang tidak pernah terbuka itu pun tampaknya telah dibuka dengan paksa” katanya gugup.“Hei...!” teriak Sakayon terkejut. Tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi ia meloncat dengan tangkasnya masuk ke dalam goa. Menilik geraknya maka Sakayon pun pasti termasuk orang yang berilmu tinggi. Mungkin ia adalah kepercayaan Suami-Istri Sima Rodra. Sakayon telah keluar dari dalam goa. Gerak-geriknya menunjukkan kegelisahan hatinya. Sejenak kemudian tanpa berkata apapun ia berlari kesamping goa dimana Sima Rodra tadi telah mempergunakan pintu rahasia ini. Pasti terjadi sesuatu atas mereka, kembali ia berlari ke arah tamu-tamunya.“Mereka telah lenyap. Untuk tiga hari setidak-tidaknya kalian tak akan dapat menemui mereka. Sedangkan kedua pusaka yang disimpannya itu telah lenyap pula. Kalau yang mengambil Suami-Istri Sima Rodra, mereka tidak perlu memecahkan pintu,” katanya dengan nafas yang memburu.“Keris itu lenyap...?” tanya Uling Putih. Suaranya pun menunjukkan suatu kecemasan yang sangat. “Kalau kata-katanya betul, pasti akan menimbulkan suasana yang panas dalam pertemuan kami nanti, katanya”Uling Kuning yang lebih kasar itu tidak berkata apapun, tetapi segera ia meloncat turun dari kudanya dan langsung masuk goa. ”Kau tidak percaya?,” teriak Sakayon, “Baiklah, lihatlah sendiri.”Rupanya Uling Putih tidak tega membiarkan adiknya memasuki goa seorang diri. Sebab mungkin ada hal-hal yang tidak beres. Karena itu ia pun segera meloncat turun dan cepat- cepat menyusul memasuki goa suasana menjadi sepi. Masing-masing diam sambil menunggu kakak-beradik itu keluar dari mulut itu, ketika semua perhatian dicurahkan ke mulut goa, berbisiklah Gajah Sora, “Tuan, bukankah kita dapat mempergunakan kesempatan ini untuk menyingkir dari kandang macan ini? “Rupanya Mahesa Jenar pun telah memperhitungkan demikian, sehingga ia segera menyetujuinya. “Baik Tuan, tetapi jalan mana yang akan kita lalui?”Apakah Tuan belum melihat gerbang dari benteng Sima Rodra ini? tanya Gajah jawab Mahesa Jenar, Aku memasuki halaman ini dengan memanjat dinding Gajah Sora tersenyum. “Akh, Tuan kurang hati-hati. Seharusnya Tuan mengetahui lebih dahulu sebelum berbuat sesuatu, arah-arah mana yang dapat Tuan lewati kalau bahaya datang. Atau setidaknya Tuan telah memiliki pengetahuan tentang itu,” katanya. Mahesa Jenar tersenyum pula. “Tuan benar. Aku memang kurang hati-hati. Tetapi apakah sekarang kita dapat melewati gerbang?” sahutnya.“Tentu,” jawab Gajah Sora, “Orang-orang yang menjaganya sedang berkumpul di sini. Kalau demikian marilah kita pergi” sahut Mahesa Jenar sebentar kemudian, Gajah Sora dan Mahesa Jenar dengan hati-hati sekali menyelinap dari satu rumpun ke rumpun yang lain, dari balik padas yang satu ke padas yang lain. Selangkah demi selangkah mereka berhasil mendekati gerbang yang menghadap ke utara. Gerbang ini dalam keadaan biasanya selalu dijaga dengan kuatnya oleh orang-orang kepercayaan Sima Rodra. Tetapi orang-orang itu sekarang sedang berkumpul di depan goa untuk dapat mencegah kalau sepasang Uling itu akan berbuat sesuatu. Maka dengan tidak banyak mendapat kesulitan, Gajah Sora dan Mahesa Jenar berhasil keluar melewati gerbang yang menganga tak terjaga. Setelah itu, setelah mereka berada di luar, segera mereka meloncat ke dalam semak- semak dan menjauhi benteng Sima Rodra itu dengan mengambil jalan menyusup rumpun-rumpun liar dan menjauhi jalan yang semestinya. Dengan keadaan tubuh mereka yang hampir remuk itu, mereka harus dengan hati-hati sekali menuruni tebing yang curam serta menloncati padas-padas yang rumpil. Untunglah bahwa mereka berdua mempunyai dasar kecekatan yang cukup, sehingga meskipun dengan susah payah pula mereka dalam waktu singkat telah dapat mencapai dataran di sebelah bukit kecil demikian mereka merasa bahwa jalan yang akan mereka lalui tidak lagi sulit, mereka mendengar lamat-lamat derap kuda yang keluar dari gerbang benteng bukit Tidar, yang semakin lama terdengar semakin jauh. Rupanya sepasang Uling dari Rawa Pening itu ketika sudah yakin bahwa Suami-Istri Sima Rodra tak dapat mereka temui, serta sepasang keris itu tidak lagi berada di tangan mereka, mereka merasa bahwa tak ada gunanya lagi tinggal terlalu lama di Bukit suara derap kuda itu lenyap, kembali Gajah Sora dan Mahesa Jenar melanjutkan perjalanan untuk secepat-cepatnya menjauhi gunung Tidar. Untuk menghilangkah jejak, mereka tidak langsung berjalan ke timur, tetapi mula-mula mereka melingkar ke barat untuk selanjutnya membelok ke utara, ke Banyu perjalanan, ternyata bahwa Gajah Sora dan Mahesa Jenar yang baru saja berkenalan itu menjadi begitu akrab, seolah-olah mereka telah berkenalan bertahun-tahun. Dalam banyak hal mereka selalu bersamaan pendapat dan beberapa lama mereka berjalan, serta mereka sudah yakin benar bahwa orang- orang Sima Rodra tidak lagi dapat menemukan mereka, mereka merasa perlu untuk beristirahat, untuk menyegarkan tubuh mereka. Maka dicarilah tempat yang sesuai untuk sekadar melepaskan demikian mereka duduk bersandar di pepohonan, karena lelah dan tegang yang dialaminya beberapa saat yang lalu, segera mereka jatuh nyenyaknya, sehingga mereka sama sekali tak merasa bahwa malam telah lama lewat, dan matahari telah tinggi di cahaya matahari itu, menerobos daun-daun dan memanaskan tubuh mereka, kedua orang yang kelelahan itu baru terbangun. Terasalah sesudah mereka beristirahat benar-benar, meskipun hanya sebentar, tubuh mereka menjadi bertambah segar. Meskipun masih saja terasa agak kaku-kaku dan nyeri, namun mereka telah sanggup untuk berdiri tegak dan melangkah dengan tangkas, berkat daya tahan tubuh mereka yang cukup mereka mencuci muka serta sekadar minum air dari sumber yang ditemukannya di dekat mereka beristirahat, mulailah mereka melanjutkan perjalanan. Mula-mula mereka akan singgah ke Pangrantunan untuk menemui Ki Ageng Sora Dipayana. Tetapi setelah dipertimbangkan untung-ruginya, mereka membatalkan maksud perjalanan pulang itu, barulah mereka mengetahui bahwa wajah-wajah mereka tampaknya seperti berubah. Beberapa noda biru dan bengkak-bengkak tampak di sana- sini. Hal itu menunjukkan betapa hebatnya perkelahian mereka semalam. Sehingga apabila mereka saling memandang, mereka menjadi tertawa samping itu, dalam hati masing-masing timbullah rasa kagum satu sama lain. Sebab dalam pertempuran dan perkelahian yang mereka alami sebelum itu, jarang tubuh mereka dapat disakiti, apalagi sampai biru-biru dan bengkak-bengkakPerasaan Gajah Sora dan Mahesa Jenar juga menjadi geli bercampur Ki Ageng Sora Dipayana begitu yakin bahwa cara perkenalan yang aneh itu tidak akan membawa akibat yang dapat berbahaya. Sebab rupanya, dengan memberi banyak petunjuk kepada Mahesa Jenar, Ki Ageng Sora Dipayana memang bermaksud untuk mempertemukannya dengan Gajah Sora yang kebetulan juga sedang disuruhnya mengambil kedua pusaka itu, tanpa memberitahukan lebih wajah-wajah yang demikian, apabila mereka singgah di Pangrantunan, tentu akan menimbulkan kecurigaan. Baik kepada mereka sendiri maupun kepada Ki Ageng Sora Dipayana yang menyamar sebagai seorang petani miskin. Karena itu mereka berketetapan hati untuk melangsungkan saja perjalanan mereka ke Banyu malam berikutnya mereka bermalam pula di tengah-tengah hutan. Sengaja mereka tidak menuruti jalan ke Bergota karena mereka merasa bahwa barang-barang yang mereka bawa adalah bukan barang biasa, yang apabila sampai diketahui orang akan dapat banyak menimbulkan juga malam kemarin, karena lelah dan mereka belum pulih seluruhnya, Gajah Sora dan Mahesa Jenar demikian meletakkan tubuhnya, demikian mereka mendengkur nyenyak sekali. Tetapi malam ini ternyata tidak setenteram malam kemarin. Belum lagi mereka melampaui tengah malam, mendadak terasa tubuh mereka dikenai sesuatu. Gajah Sora dan Mahesa Jenar adalah orang-orang yang pernah mengalami latihan-latihan jasmaniah maupun kesiagaan batin. Maka demikian tubuh mereka kena sentuhan yang tidak wajar, demikian mereka meloncat berdiri dan dalam sekejap mereka telah pada saatnya, terdengarlah gemerisik dedaunan disamping mereka, dan dengan suatu auman yang dahsyat meloncatlah seekor harimau hitam yang besarnya bukan kepalang, menerkam Mahesa Jenar. Untunglah bahwa tubuh Mahesa Jenar telah agak terasa baik, sehingga dengan menjatuhkan diri ia bebas dari terkaman harimau hitam itu. Bahkan tiba-tiba ia menjadi marah sekali atas gangguan yang mendadak itu ia tidak menanti lebih lama lagi. Saat itu pula segera ia mengatur jalan pernafasan menurut ajaran gurunya, menyilangkan tangan kirinya di muka dada serta mengangkat tangan kanannya, satu kakinya ditekuk ke depan. Dan dengan menggeram penuh kemarahan, ia meloncat ke arah harimau yang baru saja menjejakkan kakinya keatas tanah itu, berbareng dengan mengayunkan pukulan Sasra Birawa. Tetapi ketika tangannya sudah hampir menyentuh tubuh harimau itu, tiba-tiba dengan gerakan aneh harimau itu berguling-guling tangkas sekali sehingga pukulan Mahesa Jenar yang dilambari kekuatan ilmu Sasra Birawa itu tidak mengenai sasarannya. Dengan demikian ia terseret oleh kekuatannya sendiri sehingga hampir saja ia kehilangan bahwa dengan cepat Mahesa Jenar dapat menguasai dirinya kembali sehingga ia tidak jatuh tertelungkup. Tetapi pada saat yang demikian, pada saat dimana Mahesa Jenar masih belum dapat menguasai keseimbangan sepenuhnya, harimau itu telah siap merobek-robeknya. Untunglah bahwa kawan seperjalanannya bukan pula orang kebanyakan. Ia menyaksikan kegagalan Mahesa Jenar dengan penuh keheranan. Heran atas sikap seekor harimau yang dengan tangkas dapat membebaskan dirinya dari pukulan maut Mahesa Jenar, bahkan harimau itu telah siap pula untuk itu Gajah Sora tidak mau kehilangan waktu. Cepat seperti kilat ia meloncat sambil merentangkan tangannya, yang sesaat kemudian telah menyilang dadanya. Dengan suatu gerakan melingkar lewat atas kepalanya ia menghantam harimau itu dengan dahsyatnya. Bahkan Gajah Sora telah mempergunakan ilmunya Lebur serangan yang tiba-tiba datang itu, harimau hitam biasa meloncat menghindari pukulan Lebur Saketi yang tidak pula kalah dahsyatnya. Juga kali ini Gajah Sora tak berhasil sementara itu, Mahesa Jenar telah dapat menguasai diri sepenuhnya. Sehingga demikian ia melihat harimau itu berhasil menghindari pukulah Gajah Sora, demikian Mahesa Jenar mengulangi serangannya dengan ilmunya Sasra Birawa. Kali ini harimau hitam yang sedang mengelak itu tidak sempat berbuat apa-apa. Tangan Mahesa Jenar berhasil mengenai tengkuknya. Harimau itu meloncat tinggi-tinggi dan mengaum hebat sekali. Gajah Sora, yang menjadi marah pula, tidak mau membiarkan harimau itu, karenanya sebelum harimau itu jatuh di tanah ia telah mengulangi pula serangannya dengan aji Lebur dari dua pukulan maha dahsyat itu hebat sekali. Harimau hitam itu terpental beberapa alangkah terkejut mereka berdua, ketika Gajah Sora dan Mahesa Jenar menyaksikan harimau itu jatuh berguling-guling dan kemudian menggeliat dan seperti melenting ia meloncat dan bangun berdiri. Ya, berdiri di atas dua kaki seperti manusia berdiri. Akhirnya, barulah Gajah Sora dan Mahesa Jenar sempat menyaksikan bahwa yang berdiri di hadapannya sama sekali bukanlah seekor harimau hitam, tetapi benar- benar seorang manusia yang berkerudung kulit harimau berwarna itu darah mereka bergolak itu, yang berdiri di hadapannya, pasti bukan manusia biasa, sebab ia telah dapat membebaskan dirinya dari akibat pukulan-pukulan Lebur Sakethi dan sekaligus Sasra yang berkerudung kulit harimau hitam itu berdiri dengan angkuhnya. Tubuhnya gagah besar melampaui ukuran yang biasa. Jambang dan janggutnya tidaklah begitu lebat, tetapi hampir memenuhi seluruh mukanya. Matanya tampak bercahaya di dalam gelap, benar-benar seperti mata seekor cahaya bintang yang samar-samar, Mahesa Jenar dan Gajah Sora yang berpandangan tajam itu dapat menyaksikan bahwa wajah orang itu pastilah bengis dan kemudian terdengarlah ia menggeram perlahan-lahan, lalu terdengarlah suaranya dalam sekali.“Pukulan kalian luar biasa dahsyatnya. Terasa betapa sakit dan nyerinya. Karena itu, kau telah berbuat kesalahan dalam dua hal. Mengambil kedua pusaka itu dan menyakiti tubuhku. Akibatnya adalah dua hal pula, kembalikan keris itu dan aku akan membalas pukulan kalian. Kalau kalian mati karena pukulanku bukanlah salahku.”Mendengar kata-kata itu, Gajah Sora dan Mahesa Jenar menjadi gemetar karena marah. Biarpun orang itu tidak dapat dibunuhnya karena kesaktian andalan mereka yang terakhir, tetapi mereka bukanlah anak-anak kecil yang harus menerima saja hukuman dari orang tuanya. Karena itu Gajah Sora dan Mahesa Jenar segera menyiagakan diri untuk bersama- sama menghadapi bahaya yang besar, dan untuk taruhan yang besar pula, yaitu kedua keris Pusaka Demak dan nyawa pertimbangan Gajah Sora dan Mahesa Jenar, tidaklah mereka bersalah apabila mereka terpaksa mempergunakan keris-keris yang sedang mereka pertahankan mati- matian itu. Karena itu, tangan Mahesa Jenar dan Gajah Sora segera melekat pada ukiran keris yang mereka bawa gelagat itu, orang yang berkerudung kulit harimau itu berdesis, “Hem.., kalian akan mempergunakan Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten itu untuk melawan aku. Bagus. Memang tak seorangpun di dunia ini yang akan dapat tetap hidup meskipun hanya tergores seujung rambut saja. Tetapi aku harus meyakinkan kalian, bahwa kalian tak akan dapat menyentuh tubuhku dengan kedua pusaka itu”Habis mengucapkan kata-kata itu, orang itu segera bersiap untuk menyerang Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Bagaimanapun beraninya Gajah Sora dan Mahesa Jenar, hati mereka bergetar juga. Tergetar karena menghadapi bahaya yang mungkin akan dapat menggagalkan tugas mereka untuk menyelamatkan Kiai Nagasasra dan Sabuk kemudian seperti angin menyambar, orang itu mulai dengan serangannya. Alangkah dahsyatnya, Gajah Sora dan Mahesa Jenar segera memencarkan diri, dan tak ada pilihan lain kecuali mencabut kedua pusaka yang mereka bawa yang kemudian sejenak diungkulkan di atas kepala masing-masing. Kiai Nagasasra berbentuk seekor naga bersisik emas, yang memancarkan cahaya kuning menyilaukan, sedang Kiai Sabuk Inten yang ber-luk 11 tampak berkilat-kilat memancarkan cahaya yang Sora dan Mahesa Jenar meskipun tidak dapat menyamai kecepatan gerak lawannya tetapi mereka bukan pula anak-anak ingusan. Apalagi di tangan mereka sekarang bercahaya-cahaya pusaka yang tiada taranya. Karena itu orang yang berkerudung kulit harimau itupun tidak berani merendahkan. Segera mereka bertiga terlibat dalam satu pertempuran yang luar biasa sebuah bayangan hitam menyelinap menyusup dan kemudian meloncati gumpalan-gumpalan cahaya kuning yang silau dan cahaya biru yang gemerlapan. Itulah cahaya dari kedua pusaka itu di tangan orang-orang yang hampir sempurna olah ternyata apa yang dikatakan orang itu benar-benar terjadi. Mahesa Jenar dan Gajah Sora yang sudah bekerja mati-matian, sama sekali tak berhasil menyentuh kulit lawannya dengan senjata-senjatanya. Hanya untunglah bahwa karena kedua pusaka itu pula, lawan mereka belum juga berhasil dapat mengenai tubuh mereka. Kalau saja Gajah Sora atau Mahesa Jenar sampai tersinggung oleh tangan hantu itu, pastilah kulit mereka akan ketika pertempuran itu sudah berlangsung beberapa saat, dan masih saja Gajah Sora dan Mahesa Jenar memberikan perlawanan yang sengit, orang yang berkerudung kulit harimau itu tidak sabar lagi. Ia meloncat beberapa langkah ke belakang, dan dengan gerak yang menakutkan ia menggetarkan tubuhnya sambil mengaum mengerikan. Sesaat kemudian ia telah siap untuk mengadakan serangan-serangan terakhir yang Gajah Sora dan Mahesa Jenar tidak mengerti arti dari gerakan-gerakan itu, mereka yakin bahwa saat yang menentukan segera akan Sora dan Mahesa Jenar pun segera mempersiapkan diri. Mereka berdiri kira-kira berjarak 3 sampai 4 langkah, yang dapat dicapainya dalam satu loncatan. Mereka sudah bertekad untuk bertempur sampai kemungkinan yang terakhir. Kalau mereka berdua harus mati, maka setan itu pun harus dapat dilukainya pula dengan salah satu dari kedua keris itu, sehingga ia pun pasti akan mati yang berkerudung kulit harimau itu setelah berhenti mengaum segera bersikap seperti akan menerkam. Tangannya terjulur ke depan, sedangkan jari-jarinya dikembangkan. Melihat sikap itu, segera Gajah Sora dan Mahesa Jenar teringat kepada istri Sima Rodra yang bertempur dengan cara yang serupa. Tetapi orang ini ternyata mempunyai ketinggian ilmu yang kemudian, hampir pada saat orang itu meloncati Gajah Sora, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang nyaring meskipun tidak terlalu keras. Kemudian disusul gemerisik daun-daun yang tergetar karena suara tertawa itu. Alangkah besar tenaga yang dilontarkan lewat suara yang tidak begitu keras itu. Mendengar suara itu, orang berkerudung kulit harimau itu tampak terkejut bukan main. Dan keadaan itu sangat mengejutkan Gajah Sora dan Mahesa Jenar pula. Mereka telah terkejut karena getaran suara itu, disusul oleh sikap orang yang berkerudung berkerudung itu kemudian menegakkan kepalanya. Ia menggeram hebat menunjukkan kemarahannya. Kemudian terdengar ia berkata, “Hem..., apa kepentinganmu dengan mengganggu pekerjaanku?”Dan terdengarlah jawaban yang lunak halus hampir seperti suara perempuan. “Terhadap anak-anak itu kau sudah akan mempergunakan ajimu Macan Liwung?” katanya.“Apa pedulimu?” jawab orang itu.“Banyak kepentinganku atasnya, mereka adalah murid-murid sahabatku. Dan bukankah persoalan itu adalah persoalan anak-anak. Sebaiknya orang tua tidak usah ikut campur” jawab suara itu.“Sebaiknya kau mengurus kepentinganmu sendiri” sahut orang berkerudung itu. “Ini juga termasuk kepentinganku” jawab suara itu pula.“Aku tidak pedulikan kau” potong orang berkerudung itu.“Tetapi aku mempedulikan kau. Kalau kau memaksa pula untuk mencampuri perkara anak-anak. Baiklah kita yang tua-tua ini membuka permainan sendiri. Sedang anak-anak biarlah mereka belajar menyelesaikan masalah mereka.”“Gila Selamanya kau gila. Kau berharap dapat mengalahkan aku sekarang?”“Tidak. Aku tahu bahwa aku tak akan mengalahkan kau. Tetapi setidak-tidaknya kau juga tidak akan dapat mengalahkan aku. Dan permainan itu akan memberi kesempatan kepada anak-anak itu untuk berlindung pada bapak-bapaknya. Karena ada seorang bapak telah ikut campur pula” jawab orang orang asing yang lunak dan mirip suara perempuan itu terang berasal dari belakang Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Meskipun demikian, Gajah Sora dan Mahesa Jenar tidak berani menoleh ke belakang. Mereka tahu bahwa orang itu pasti tidak akan bermaksud jahat, sebab kalau demikian sudah sejak tadi ia dapat membunuhnya dari arah punggung. Apalagi ketika mereka berdua mendengar pembiaraannya dengan orang yang berkerudung itu, hati mereka seperti disiram meskipun demikian mereka hampir tak berani berkedip. Sebab setiap saat orang yang berkerudung itu dapat meloncatinya dan merebut pusaka-pusaka itu, yang barangkali malahan dapat dipergunakan untuk melawan orang yang berada di belakangnya itu. Sebentar kemudian kembali orang berkerudung itu menggeram. “Jangan coba halangi aku” itu terjadilah suatu hal diluar daya pengamatan Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Meskipun mereka berdua termasuk orang-orang yang disegani karena kesaktiannya, tetapi mereka samasekali tidak dapat menangkap gerakan orang berkerudung itu. Apa yang dilihatnya hanyalah seperti pancaran kilat yang membelah langit, sedemikian tiba- tiba dan berlangsung cepat berkerudung itu tahu-tahu rasanya sudah melekat di pelupuk mata Gajah Sora. Kemudian segera disusul dengan peristiwa yang sama cepatnya. Sebuah benturan yang luar biasa dahsyat terjadi di hadapan mata Gajah Sora dan Mahesa Jenar tanpa dapat diketahui yang mereka ketahui kemudian adalah orang berkerudung itu telah berdiri berhadap-hadapan dengan seorang yang berperawakan kecil. Sikapnya pun mirip dengan suaranya. Sama sekali tidak gagah dan garang, tetapi justru mirip sikap seorang itu berdiri dengan tubuh masih bergetar diantara Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Dan dihadapannya berdiri orang berkerudung itu, yang juga tampak sedang berusaha menguasai keseimbangannya.“Kau benar-benar akan mencampuri urusanku?” bentak orang berkerudung itu. “Sudah aku katakan sejak tadi” jawab orang yang mirip dengan perempuan tampaklah orang berkerudung itu memandangi berganti-ganti Gajah Sora, Mahesa Jenar dan orang asing itu. Mukanya yang hampir seluruhnya ditumbuhi rambut yang jarang-jarang itu tampak berkerut. Lalu katanya dengan suara parau, “Baiklah, aku tidak dapat melawan kalian bertiga. Tetapi jangan mengira bahwa aku telah melepaskan kepentinganku atas kedua anak-anak yang bermain-main dengan pusaka-pusaka itu”Setelah berkata demikian, segera ia meloncat tak ubahnya seekor harimau dan kemudian menyusup lenyap di gerumbul orang berkerudung itu tidak nampak lagi, berkatalah orang asing itu kepada Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Guru kalian ternyata kurang hati-hati. Untunglah aku melihat harimau itu, sedang kalian tidur nyenyak. Sehingga aku terpaksa membangunkan kalian dengan batu. Seharusnya guru kalian tidak melepaskan kalian tanpa Sora dan Mahesa Jenar kemudian dengan membungkuk hormat mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, dan dengan agak berdebar-debar Gajah Sora mencoba bertanya, “Bolehkan aku mengetahui, siapakah Tuan?” Orang itu tersenyum. Tidaklah gurumu pernah berceritera tentang aku? Sora mengernyitkan alisnya sambil mengingat-ingat ceritera gurunya tentang sahabat-sahabatnya. Mahesa Jenar juga mencoba untuk menebak-nebak siapakah kiranya yang berdiri dihadapannya itu. Tiba-tiba mereka hampir bersamaan teringat kepada ceritera guru sakti yang menurut istilah guru mereka, sama sekali tampangnya tak berarti. Mungkin orang inilah yang dimaksud. Maka dengan hampir bersamaan pula mereka mengucapkan sebuah nama, “Tuankah yang bergelar Titis Anganten dari Banyuwangi?”Kembali orang itu tersenyum. “Nah ternyata kalian kenal aku. Guru-gurumu pasti pernah berkata tentang orang yang tampangnya tak berarti” jawabnya terdengarlah ia tertawa nyaring.“Aku dengar Kakang Pengging Sepuh telah wafat” katanya tiba-tiba kepada Mahesa Jenar. Mahesa Jenar tertegun. Rupanya dengan tepat orang itu mengetahui bahwa Macan Ireng itu berada di Sora segera menjawab, “Mungkin Tuan, sebab Guru tak pernah menyebutkan itu.”“Mungkin” sahut orang yang ternyata adalah Titis Anganten. “Sebab kedatangannya belum seberapa lama. Ketika aku ketahui bahwa alas Lodaya kosong, segera aku pergi ke Gunung Tidar. Ketahuilah bahwa orang itulah yang sebenarnya bernama Sima Rodra. Ia adalah ayah dari isteri Sima Rodra yang sekarang. Dan terkaanku adalah tepat. Ia pergi mengunjungi anak perempuannya di Gunung Tidar. Beberapa lama aku terpaksa mengeram mengawasinya. Jadi aku dapat melihat seluruhnya yang terjadi di muka goa Sima Rodra. Aku dapat melihat kedatangan kalian dari arah yang berbeda. Dan aku terpaksa membantu ketajaman sirep yang kau sebarkan, sebab Sima Rodra itupun telah mencoba melawannya. Dan karena kami lakukan berdua, maka sirep kamipun menang. Untunglah bahwa Sima Rodra berdua itu berlari ke dalam pintu rahasia, sehingga ayahnya memerlukan waktu untuk keluar melalui lobang yang lain sehingga ia baru dapat menyusul kalian sekarang ini. Dan agaknya karena kedatangannya itu ingin dirahasiakan, dan karena kepercayaannya kepada anaknya, ia tidak merasa perlu untuk membantu” lanjut Titis menjadi jelas bagi Mahesa Jenar dan Gajah Sora. Ternyata ketika mereka tertidur nyenyak, mereka telah dibangunkan oleh Titis Anganten. Itulah sebabnya mereka merasa seperti dilempar dengan batu. Dan apa yang mereka hasilkan sekarang, sebagian adalah karena jasa orang itu itu, sekali lagi mereka mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. “Tetapi... sampai sekarang aku masih belum mengenal nama-nama kalian. Siapakah namamu anak muda?” tanya Titis Anganten kepada Mahesa Jenar.“Namaku Mahesa Jenar, Tuan. Sebagai seorang prajurit aku disebut Ronggo Tohjaya” jawab Mahesa Anganten mengangguk-angguk. “Sudah lama sekali aku tak bertemu dengan Kakang Pengging Sepuh, sehingga aku belum mengenal nama murid-muridnya, Sedang apa yang kau lakukan terhadap lawan-lawanmu dengan Sasra Birawa yang terkenal itu, kau benar-benar mengingatkan aku kepada gurumu. Kelak kalau telah mengendap benar- benar dan dapat menguasai setiap saluran nafasmu dengan baik, maka dapat diharapkan bahwa kau setidak-tidaknya akan dapat menyamai gurumu. Hanya sayang bahwa gurumu itu tidak lagi berkesempatan menuntunmu lebih lama lagi, sehingga kau harus berjuang sendiri untuk mencapai kesempurnaan, kata Titis Anganten kepada Mahesa Titis Anganten bertanya kepada Gajah Sora, “Ilmumu Lebur Seketi ternyata sedikit lebih masak dari Mahesa Jenar. Siapakah namamu?”“Aku bernama Gajah Sora, Tuan” jawab Gajah Anganten mengernyitkan alisnya. “Namamu mirip dengan nama gurumu. Mungkin kau tidak saja muridnya. Menilik wajahmu yang mirip dengan wajah Kakang Sora, aku sejak tadi sudah mengira bahwa kau adalah anaknya” katanya kemudian.“Benar Tuan... aku adalah anaknya yang sulung” jawab Gajah Titis Anganten mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mungkin karena gurumu yang bahkan ayahmu masih selalu dapat mendampingimu itulah maka ilmumu agak lebih masak sedikit dari Mahesa Jenar. Tetapi bagaimanapun aku telah dapat menyaksikan suatu pertunjukan yang luar biasa. Sasra Birawa beradu dengan Lebur Seketi. Dua macam ilmu yang tak ada bandingnya” pujian itu, Mahesa Jenar dan Gajah Sora agak canggung pula. “Nah sekarang sarungkan pusaka-pusaka itu” kata Titis Anganten lebih itu telah menyadarkan Gajah Sora dan Mahesa Jenar bahwa sejak tadi kedua pusaka keramat itu masih saja digenggamnya erat-erat. Karena itu maka setelah diungkupkan di atas kepala masing-masing, keris itu kemudian disarungkan kembali.“Sekarang...,” kata Titis Anganten melanjutkan, “untuk sementara kalian akan aman. Macan Ireng itu pasti tidak akan mengganggumu lagi. Tetapi untuk seterusnya kau harus berhati-hati. Sebab ilmunya yang dinamainya Macan Liwung itu tak kalah pula dahsyatnya. Mungkin ilmu itu masih belum diturunkan kepada anak atau menantunya. Tetapi dengan kejadian-kejadian ini tidak mustahil bahwa ia akan menurunkan ilmunya itu segera untuk mendapat tenaga-tenaga yang akan membantunya melawan angkatan tua dan kalian. Akibatnya, pastilah besar. Apalagi kalau Sima Rodra itu menghubungi sahabat-sahabatnya. Misalnya Bugel Kaliki dari Lembah Gunung Cerme”“Mungkin juga dengan Ki Pasingsingan dari Mentaok” sela Mahesa kata-kata Mahesa Jenar itu tampaklah Titis Anganten agak terkejut. Tetapi akhirnya ia menjawab juga, “Ya... Tuan, Pasingsingan, guru Lawa Ijo di Mentaok”“Ah, barangkali kau keliru Mahesa Jenar” kata Titis Anganten, “Tidakkah gurumu sering mengatakan kepadamu bahwa Pasingsingan itu termasuk salah seorang dari kami?”“Benar, Tuan” Mahesa Jenar menjelaskan. “Tetapi ternyata ia telah mengambil seorang murid yang terkenal dengan sebutan Lawa Ijo, yang termasuk dalam golongan hitam”Kembali wajah Titis Anganten berubah. Rupanya ia tidak menyetujui keterangan Mahesa Jenar. “Siapakah yang mengatakan itu kepadamu?” tanyanya.“Aku pernah melukai Lawa Ijo itu dengan Sasra Birawa, jawab Mahesa Jenar. Hal itu terpaksa aku lakukan karena Lawa Ijo mempergunakan cincin bermata akik yang merah menyala dan beracun””Pada saat itulah muncul Pasingsingan yang akan membunuhku. Untunglah bahwa pada saat itu hadir pula Ki Ageng Pandan Alas, meskipun tidak menampakkan diri”“Pandan Alas?” potong Titis Anganten. Dan tiba-tiba wajahnya menjadi terang oleh suatu kesan yang lucu terhadap Pandan Alas.“Ya, Ki Ageng Pandan Alas telah memberikan tanda-tanda kehadirannya dengan sebuah tembang Dandanggula” sambung Mahesa Jenar.“Ah, masih saja orang tua itu senang pada tembang. Masihkah suaranya baik dan nadanya tidak sumbang?”Terdengarlah Titis Anganten tertawa lirih. “Bagus-bagus, orang tua jenaka itu rupanya masih akan panjang umur. Tetapi bagaimana dengan Pasingsingan?”Mendengar pertanyaan itu segera Mahesa Jenar menjawab, “Orang itu memakai kedok kayu yang kasar.”“Betul..., kau betul. Pasingsingan itu mungkin berwajah bopeng sehingga ia malu menampakkan wajahnya. Kami sahabat-sahabatnya pun belum pernah mengenal wajahnya yang asli. Dan batu merah yang disebutnya akik Kelabang Sayuta itu benar- benar miliknya. Tetapi...“ Titis Anganten berhenti sebentar, lalu melanjutkannya, “Aneh kalau ia termasuk aliran hitam” “Menurut Ki Ageng Pandan Alas, beliau meragukan keaslian Pasingsingan itu” sahut Mahesa Jenar.“He...?” kembali Titis Anganten terkejut. “Mungkin..., mungkin. Tetapi setan mana yang berani mengaku Pasingsingan itu? Pasti ia termasuk dalam tingkatan orang tua itu pula. Kalau tidak, barangkali umurnya tidak akan lebih dari satu hari saja”Titis Anganten berhenti berbicara. Tampaklah ia sedang tiba-tiba katanya, “Nah Gajah Sora dan Mahesa Jenar, pulanglah kalian. Sebaiknya Kakang Sora Dipayana segera diberi tahu mengenai kehadiran Sima Rodra. Perkara Pasingsingan biarlah diurus oleh Pandan Alas, yang sudah tidak punya urusan apa-apa lagi kecuali bertanam jagung. Ya, memang ia suka menanam jagung sejak muda. Itulah pokok makanannya. Ia sama sekali tidak pernah makan beras”Kemudian terdengarlah Titis Anganten itu tertawa. Lalu sambungnya, “Kalau Kakang Sora Dipayana sudah tahu, selesailah tugasku. Aku ingin melanjutkan perjalanan ke barat, mumpung aku sudah sampai di sini. Aku ingin mengunjungi Kakang di Gunung Slamet”“Tetapi tidakkah Tuan hendak singgah di rumahku?” sahut Gajah Sora. “Dan mungkin Tuan akan dapat bertemu dengan ayah. Barangkali pertemuan itu dapat menggembirakan ayah”Titis Anganten menggelengkan kepalanya. "Pertemuan semacam itu selalu menjadi pembicaraan orang. Apalagi di daerah yang sedang ribut ini. Katakanlah bahwa aku akan datang besok kalau aku akan pulang ke Banyuwangi. Ketahuilah bahwa di sini segala sesuatu tak dapat dirahasiakan kalau kita tidak melakukannya dengan sembunyi- sembunyi. Sekarang, aku sudah lelah setelah bersembunyi beberapa hari mengintip Sima Rodra. Nah selamat berpisah. Salam buat ayahmu Gajah Sora”Setelah itu, Gajah Sora dan Mahesa Jenar tidak sempat lagi untuk mengatakan sesuatu, sebab segera Titis Anganten melangkah pergi menyelinap diantara dedaunan, dan hilang ditelan gelap. Tinggallah kini Gajah Sora dan Mahesa Jenar, yang segera teringat kepada pekerjaannya. Karena itu segera mereka pun melanjutkan cepat mereka sampai ke Banyubiru, makin amanlah keris yang dipertaruhkannya di Sarapadan, segera mereka memotong jalan ke Bergota. Mereka berjalan dengan cepat tanpa berhenti. Sebab bagaimanapun kemungkinan Sima Rodra akan menyusul mereka masih tetap ada, meskipun Titis Anganten telah mengatakan bahwa untuk sementara mereka dapat merasa mereka berjalan tanpa berhenti, sehingga pada hari berikutnya, ketika matahari sudah condong ke barat, mereka dengan selamat sampai ke Banyubiru. Beberapa orang yang sedang bekerja di sawah segera berhenti memandang ke arah Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Bahkan beberapa orang datang berlari-lari menyambut kepala daerah perdikan jalan-jalan yang akan mereka lewati menjadi ramai. Mereka menyambut dengan tulus dan bangga atas kepala daerah mereka, yang mereka taati. Tetapi tak seorangpun dari mereka yang mengetahui bahwa kepala daerah mereka itu baru saja menyelesaikan suatu pekerjaan yang hampir membawa orang yang berdiri di tepi jalan itu bersorak-sorak ramai sekali, tetapi ada pula yang berbisik, “Dari manakah Ki Ageng Gajah Sora itu...? Dan siapakah kawan seperjalanannya itu...?”Tampaklah kesibukan yang luar biasa. Hal ini disebabkan tak seorang pun dari penduduk Banyubiru yang mengetahui bahwa Ki Ageng Gajah Sora pergi meninggalkan kota. Tiba- tiba mereka melihat Ki Ageng Gajah Sora telah Jenar menyaksikan sambutan rakyat yang meriah itu dengan hati yang berdebar- debar. Tampaklah betapa Ki Ageng Gajah Sora memiliki sifat kepemimpinan yang tinggi, sehingga rakyatnya sangat kiri kanan jalan, di balik pagar manusia yang menyambutnya, tampaklah halaman- halaman yang luas-luas dan bersih. Dan di atas halaman-halaman itu berdiri rumah- rumah yang besar dan bagus. Hal itu memberi pertanda bahwa Banyubiru tergolong daerah yang ketika Mahesa Jenar menyaksikan bahwa pada umumnya lumbung-lumbung mereka sama sekali tak berdinding, malahan ada yang bentuknya hanya seperti payung yang berdaun lebar. Maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa daerah itu merupakan daerah yang aman dan Biru terletak di lambung bukit Telamaya di kaki Gunung Merbabu sebelah utara. Di hadapannya terbentang dataran tinggi yang dibagi dalam dua jenis tanah. Di sebelah barat merupakan tanah persawahan yang subur, sedang di sebelah timur terdapat sebuah rawa yang besar. Kemudian di bagian utara dari rawa-rawa itu ditumbuhi pohon-pohon liar yang lebat, disambung dengan hutan-hutan dalam hutan-hutan belukar yang berawa-rawa itulah bersembunyi gerombolan Uling yang terkenal dengan nama Sepasang Uling dari Rawa Pening. Daerahnya merupakan daerah yang sangat sulit dicapai. Meskipun demikian, Sepasang Uling itu telah membuat sendiri jalan rahasia menuju ke rakyat Banyubiru, sawah serta Rawa Pening itu merupakan sumber penghasilan yang utama. Rawa Pening terkenal banyak sekali menyimpan ikan-ikan rawa yang besar- besar. Sehingga dengan demikian penghidupan mereka agak dapat terjamin pula. Sedangkan gerombolan Uling itu, sama sekali tidak berani mengganggu mereka, sebab di bawah pimpinan Ki Ageng Gajah Sora, rakyat Banyubiru merupakan rakyat yang kuat lahir dan maka Ki Ageng Gajah Sora di sepanjang jalan melambai-lambaikan tangannya untuk menyambut sorak-sorai rakyatnya. Tiada lama berselang, terdengarlah derap beberapa ekor kuda yang datang dari arah depan. Dan muncullah dari kelokan jalan, beberapa orang berkuda menyongsong kedatangan Ki Ageng Gajah Sora dan Mahesa kuda-kuda itu mendekati Ki Ageng Gajah Sora, meloncatlah seorang yang bertubuh agak pendek dan gemuk dari atas kudanya. Wajahnya, meskipun sudah ditandai dengan garis-garis umur, tetapi tampak kekanak-kanakan dan jenaka. Kecuali kuda yang dinaikinya, orang itu masih menuntun seekor kuda lagi yang berwarna putih, sudah lengkap dengan yang lain melihat orang itu meloncat turun, maka berloncatan pulalah mereka dari atas kuda-kuda berkatalah orang yang pendek gemuk itu dengan suara berderai, “Anakmas Gajah Sora, hampir seluruh Rawa Pening aku suruh aduk untuk mencari Anakmas, kalau-kalau sedang mandi di sana. Bahkan Gunung Gajahmungkur itu aku suruh balikkan, mungkin Anakmas terselip di dalamnya. Sungguh pandai Anakmas membikin orang tua bingung. Kemanakah Anakmas selama beberapa hari ini?”Ki Ageng Gajah Sora tersenyum. “Tetapi tak sesuatu yang Paman lakukan. Untunglah aku selamat” orang tua yang sudah memutih itu bergerak-gerak. “Aku sudah memerintahkan. Tetapi Nyi Ageng melarangnya. Katanya aku disuruh menunggu sampai seminggu ini. Kalau tidak, Nyi Ageng sendiri akan memberi perintah untuk mencari Anakmas” Gajah Sora tersenyum. “Dan sekarang aku sudah kembali, Paman”Kembali orang tua itu berkata, “Aku memang sudah mendapat kesimpulan, bahwa Anakmas pergi untuk sesuatu tugas yang tak seorang pun boleh mengetahui, kecuali Nyi Ageng. Kalau tidak, pastilah Nyi Ageng Gajah Sora sudah ribut sejak semula”Lalu terdengarlah suara orang itu tertawa berderai. “Karena itu aku tidak berusaha lagi untuk mencari Anakmas. Dan sekarang Anakmas sudah pulang dengan selamat bersama- sama seorang yang belum aku kenal” sambungnya. Lalu membungkuklah orang itu kepada Mahesa Jenar. “Bolehkah aku memperkenalkan diri Anakmas...? Namaku Wanamerta” tanya orang itu sambil memperkenalkan Jenar membalas hormat orang tua itu.“Aku bernama Mahesa Jenar, yang oleh kebaikan hati Ki Ageng Gajah Sora, aku mendapat kehormatan singgah di Banyubiru”Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya kepada Ki Ageng Gajah Sora, “Anakmas Gajah Sora, karena aku tidak tahu bahwa Anakmas datang berdua, maka aku hanya membawa seekor kuda untuk Anakmas. Maka baiklah kalau Anakmas Mahesa Jenar ini mempergunakan kudaku saja untuk bersama-sama dengan Anakmas Gajah Sora”“Lalu Paman...?” tanya Gajah Sora.“Biarlah aku memakai salah satu dari kuda anak-anak itu” dipersilahkannya Mahesa Jenar mempergunakan kuda Wanamerta yang berwarna abu-abu agak kemerah-merahan, sedang Gajah Sora mempergunakan kudanya sendiri yang berwarna mereka sekarang berkuda, tetapi mereka berjalan perlahan-lahan juga, sebab masih saja orang-orang menyambut mereka di kiri kanan beberapa lama mereka berjalan diantara rakyat Banyubiru, sampailah iring- iringan berkuda itu ke sebuah lapangan luas, yang di tengah-tengahnya tumbuh sepasang pohon beringin. Lewat tengah-tengah lapangan yang tak lain adalah Alun-alun Banyubiru, mereka menuju ke sebuah rumah besar yang berpendapa luas dan bertiang ukir-ukiran. Itulah tempat kediaman Ki Ageng Gajah muka pendapa itu telah banyak orang berjajar-jajar menanti. Diantara mereka berdiri seorang perempuan. Ketika iring-iringan itu sampai di muka pendapa, segera Ki Ageng Gajah Sora dan Mahesa Jenar turun dari kuda, dan berjalan ke arah para di muka tangga, perempuan itu segera mengambil siwur dan mencuci kaki Ki Ageng Gajah Sora. Orang itulah Nyi Ageng Gajah Nyi Ageng Gajah Sora mencuci kaki suaminya maka dipersilahkan Mahesa Jenar mencuci kakinya, dan seterusnya berganti-ganti dengan mereka yang turut serta menjemput kedatangan Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Setelah itu Gajah Sora suami-istri bersama-sama dengan Mahesa Jenar langsung menuju ke jadi tertegun sejenak ketika mereka melihat di dalam Pringgitan itu duduk seorang yang telah lanjut usianya, berkain kotak-kotak dan berbaju lurik hijau bergaris- garis besar. Dari wajahnya memancar keagungan pribadinya yang berwibawa. Melihat orang itu, segera Gajah Sora berlutut sebagai pernyataan bakti dari seorang putra kepada ayahnya. Orang itulah Kiai Ageng Sora Jenar pun segera membungkuk hormat. Ia sudah pernah bertemu dengan Ki Ageng Sora Dipayana itu di Pangrantunan. Bahkan ia banyak memberikan petunjuk- petunjuk untuk mendapatkan Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten, meskipun harus melalui suatu ujian, bertempur melawan Gajah orang yang sama itu, sekarang nampak jauh berbeda dengan yang pernah ditemuinya di Pangrantunan dahulu. Kalau saja ia tidak mengenal jenggotnya yang panjang, rambutnya serta alisnya yang telah memutih seluruhnya, juga tidak di rumah Ki Ageng Gajah Sora, maka besarlah kemungkinan bahwa ia sudah tidak dapat mengenal kedatangan anaknya serta Mahesa Jenar, Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum. Setelah Mahesa Jenar dan Gajah Sora suami-istri mengambil tempat duduk di atas sebuah tikar pandan di hadapan Ki Ageng Sora Dipayana, berkatalah orang tua itu, Selamatlah kedatangan kalian setelah menunaikan kewajiban kalian yang berceriteralah Gajah Sora atas segala pengalaman-pengalaman mereka berdua selama mereka berusaha untuk menemukan kedua keris pusaka dari Demak itu. Dan yang terakhir diceritakan pula kehadiran Sima Rodra dari Alas Lodaya yang berusaha untuk merebut kembali kedua keris itu. Juga diceriterakan bahwa mereka mendapat pertolongan Pendekar Sakti dari Banyuwangi. Mendengar cerita Gajah Sora itu Ki Ageng Sora Dipayana mengernyitkan alisnya yang sudah putih. Tampaklah bahwa orang tua itu sedang sibuk berpikir. “Kau memang beruntung Gajah Sora, bahwa Titis Anganten sempat membebaskan engkau dari tangan Sima Rodra itu. Kalau saja Pendekar Banyuwangi itu tidak menyaksikan pertemuanmu dengan Sima Rodra, kau berdua meskipun mempergunakan Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten maka tidak ada kemungkinan kau berdua dapat membebaskan diri dari padanya. Kalau hal itu terjadi maka kesalahan yang terbesar adalah terletak di pundakku. Aku terlalu menyisihkan diri dan yang terakhir terlalu sibuk dengan urusan-urusan kecil di Pangrantunan sehingga aku tidak tahu atas kedatangan Harimau Hitam itu. Dan yang pasti Pandan Alas pun masih belum tahu akan hal itu, sebab kalau ia tahu maka setidak-tidaknya ia akan mencegah Mahesa Jenar mendekati Gunung Tidar, ujar Ki Ageng Sora kembali Ki Ageng Sora Dipayana itu merenung. Mungkin ia sedang memecahkan cara untuk mengusir Sima Rodra itu dari Gunung Sima Rodra bukanlah seorang yang dapat diremehkan. Ia mempunyai kesaktian yang setingkat dengan Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Pasingsingan dan sebagainya. Tetapi bagaimanapun, dengan diketahuinya bahwa Sima Rodra ada di Bukit Tidar merupakan suatu hal yang sangat menguntungkan. Sebab dengan demikian dapatlah diadakan persiapan-persiapan seperlunya untuk menghindari kemungkinan kemungkinan yang tidak diharapkan.“Baiklah Gajah Sora...” kata Ki Ageng Sora Dipayana kemudian. “Urusan Sima Rodra serahkan saja padaku. Itu merupakan soal orang tua-tua. Sekarang yang penting simpanlah Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten itu di tempat yang baik, sehingga keduanya aman sampai dapat kalian serahkan kepada kalangan Istana, jagalah bahwa hal itu merupakan rahasia sehingga tak seorangpun, meskipun orang dalam, boleh mengetahuinya, juga adikmu Lembu Sora”Maka segera Ki Ageng Gajah Sora melaksanakan petunjuk-petunjuk ayahnya. Disimpannya Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten di dalam ruang itu, setelah semuanya dilaksanakan dengan baik, segera Ki Ageng Sora Dipayana minta diri. Gajah Sora yang telah mengetahui tabiat ayahnya, sama sekali tidak menahannya. Sebab ia tahu betul bahwa apa yang dilakukan ayahnya sebagian besar adalah atas perhitungannya yang itu maka diantarkannya Ki Ageng Sora Dipayana itu sampai ke halaman belakang, bersama-sama dengan Mahesa Jenar. Dan pergilah orang tua itu tanpa ada yang mengetahuinya, kecuali mereka itu, Gajah Sora dan Mahesa Jenar segera pergi ke pendapa, menemui orang- orang yang sudah lama menanti untuk mendengarkan kemana Gajah Sora selama ini pergi. Tetapi apa yang dikatakan Gajah Sora hanya sekadar memuaskan hati mereka, sedangkan kepentingan yang sebenarnya sama sekali tak demikian pembicaraan itu ternyata menarik juga. Pertanyaan-pertanyaan datang bertubi-tubi, yang kadang-kadang memang agak merepotkan. Tetapi dengan sedikit berputar balik, akhirnya puaslah semua setelah pertemuan itu berlangsung beberapa saat, segera Gajah Sora dan tamunya minta waktu untuk beristirahat, sehingga sesaat kemudian bubarlah pertemuan Sora kemudian mempersilahkan tamunya untuk beristirahat di Gandok sebelah timur dimana sudah disediakan ruangan untuk Mahesa Jenar. Disana ia akan tinggal untuk beberapa waktu, memenuhi permintaan Ki Ageng Gajah Gajah Sora seluruhnya hanyalah terdiri dari tiga orang kecuali pembantu- Sora dan istrinya yang ramah selalu melakukan kewajibannya dengan baik selaku seorang istri kepala Daerah Perdikan. Ia mengerti apa yang harus dilakukan, tidak hanya terhadap suaminya tetapi juga kepada rakyatnya. Ia selalu siap memberikan pertolongan- pertolongan yang diperlukan oleh penduduk wilayahnya. Kemudian seorang anak laki- laki, putra Gajah Jenar mengenal anak itu pertama kali ketika ia sedang duduk bersama-sama Ki Ageng Gajah Sora di halaman depan rumahnya. Tiba-tiba dari atas pohon melayanglah sebuah bayangan ke arah Gajah Sora. Mahesa Jenar yang tidak tahu-menahu, hampir saja menangkap bayangan itu. Tetapi ketika dilihatnya Gajah Sora tidak bergerak, Mahesa Jenar pun mengurungkan itu kemudian dengan kuatnya melekat di punggung Ki Ageng Gajah Sora. Ternyata ia adalah seorang anak laki-laki yang berumur sekitar 13 tahun. Badannya tampak kuat dan agak gemuk. Wajahnya bulat mirip benar dengan wajah ayahnya. Ia sudah agak besar, tetapi karena ia putra satu-satunya, tampaklah bahwa ia agak manja juga meskipun tidak berlebih-lebihan. Menilik sikap dan geraknya, pastilah ia sudah banyak menerima pendidikan dan pelajaran-pelajaran dari Ageng Gajah Sora sendiri, umurnya agak terpaut sedikit dari Mahesa Jenar. Mereka setuju untuk memanggil dengan sebutan kekeluargaan. Karena Gajah Sora agak lebih tua dari Mahesa Jenar, maka Mahesa Jenar memanggilnya rumah Ki Ageng Gajah Sora, Mahesa Jenar merasakan ketenteraman hidup kekeluargaan. Berbeda sekali dengan jalan hidup yang ditempuhnya akhir-akhir ini. Pergi dari satu tempat ke tempat lain. Mengalami bermacam-macam kejadian yang sebagian besar adalah di luar kalau ia sedang terbaring di ruang tidurnya, yang bersih dan teratur segala perabotnya. Timbullah iri hatinya kepada mereka yang berhasil membangun rumah tangga yang baik. Dalam saat-saat yang demikian, kadang-kadang merayap pula di dalam dadanya suatu keinginan untuk dapat menikmati kehidupan seperti ingatan Mahesa Jenar yang kadang-kadang melayang itu sampai kepada masa- masa yang baru saja dilampauinya, terbayang kembali dengan jelas satu persatu peristiwa-peristiwa itu muncul berganti-ganti di dalam angan-angannya. Teringatlah ia kepada sebuah halaman yang sejuk dan nyaman dari rumah Wirasaba yang digarap oleh istrinya yang cantik dan setia, yang karena kebodohannya, terpaksa terjadi kesalah- seorang yang tinggi hati, yang tidak mau mendapat pertolongan dari orang lain. Tetapi hatinya merasa lega, kalau diingatnya bahwa orang itu telah menemukan ingatan Mahesa Jenar terlempar kepada suatu peristiwa di hutan Tambak Baya. Pertemuannya dengan Jaka Sora dan Lawa Ijo. Dan tiba-tiba ia menjadi berdebar- debar ketika terbayang wajah seorang gadis yang ketakutan dan yang kemudian akan membunuh dirinya sendiri dengan keris Sigar Penjalin. Dan jantungnya terasa berdegup keras sekali ketika ia mencoba mengingat- ingat gadis itu, yang sedang tidur nyenyak di hadapannya. Tetapi kemudian Rara Wilis itu lenyap pula. Yang ada kini hanyalah kulitnya yang berwarna merah tembaga terbakar terik matahari. Tiba-tiba terasa bahwa belum waktunya bagi Mahesa Jenar untuk membayangkan ketenteraman hidup berkeluarga. Karena itu, maka jalan sebaik-baliknya adalah melanjutkan usahanya untuk melaksanakan tujuan hidupnya, bekerja keras diantara rakyat untuk kepentingan rakyat. Membebaskan mereka dari segenap gangguan kejahatan yang dilakukan oleh gerombolan-gerombolan liar dan Mahesa Jenar bangun dari tidurnya pada suatu pagi yang cerah, ia mendengar derap kuda memasuki halaman. Dari celah-celah pintu yang kemudian dibukanya sedikit, ia dapat melihat rombongan orang-orang berkuda langsung menuju ke Mahesa Jenar melihat orang yang paling depan, ia mengernyitkan dahinya. Ia sendiri tidak menyadari bahwa ia menjadi muak melihat wajah itu. Berbeda sekali dengan Ki Ageng Gajah Sora yang tampak agung dan berwibawa. Tetapi orang ini, meskipun dari tetesan darah yang sama, sama sekali tak mempunyai ciri-ciri kebesaran seperti kakaknya. Karena itu Mahesa Jenar acuh tak acuh saja atas kedatangan adik Ki Ageng Gajah Sora, yaitu Ki Ageng Lembu Sora dengan beberapa pintu gandok itu ditutup. Kemudian Mahesa Jenar melemparkan dirinya di atas amben bambu yang panjang disisi ruang tempat kemudian terdengar suara ribut di pendapa. Rupanya mereka sedang sibuk menyambut kedatangan tamu-tamunya dari Pamingit. Terdengarlah kemudian suara Ki Ageng Gajah Sora dengan ramahnya mempersilahkan adiknya masuk ke mereka semua sudah masuk, Mahesa Jenar berdiri, lalu dengan kesal pergi keluar ke samping Jenar melayangkan pandangan matanya ke dataran yang terbentang di bawah lambung bukit Telamaya. Di bagian barat terbentang tanah persawahan yang subur. Padi yang pada saat itu sedang menguning dan burung-burung yang terbang di atasnya. Tetapi burung-burung itu sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mencuri butiran-butiran padi yang bergoyang-goyang karena tiupan angin pagi yang lembut, sebab anak-anak yang menungguinya selalu menghalau mereka, dengan goprak dan hantu-hantuan yang digerakkan dengan bagian timur, agak jauh menjorok ke utara terbentang rawa. Airnya yang gelisah memantulkan cahaya matahari yang masih merah, yang baru saja tersembul dari balik cakrawala. Beberapa perahu lesung para nelayan masih tampak hilir- mudik seperti sepotong lidi yang terapung-apung untuk menggali kekayaan yang tersimpan di dalamnya. Tiba-tiba Mahesa Jenar mendengar derap kuda yang lari sangat kencang seperti dikejar hantu. Kuda itu tidak masuk halaman lewat gerbang depan, tetapi menyusup melalui pintu butulan di samping. Mahesa Jenar memalingkan mukanya dengan agak segan- itu lagi, desis Mahesa Jenar. Dan muncullah dari pintu butulan pagar itu seorang anak laki-laki yang berwajah bulat dan agak gemuk menunggang kuda hitam mengkilat. Ketika anak itu melihat Mahesa Jenar, cepat-cepat ia menghentikan kudanya.“Assalaumalaikum Paman” sapanya sambil menyeringai.“Dari mana kau Arya?” tanya Mahesa Jenar kepada anak Ki Ageng Gajah Sora Salaka itu tidak segera menjawab, tetapi dijatuhkannya sebuah benda yang cukup berat dari punggung kuda itu. Melihat benda itu Mahesa Jenar terkejut. “Uling...?” katanya.“Ya, Paman, aku dari Rawa Pening menangkap uling itu” Jenar menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau memang nakal Arya. Bukankah ayahmu telah melarangmu pergi ke Rawa Pening? Besok, kalau kau sudah bertambah besar tentu kau boleh pergi ke sana. Tetapi sekarang belum waktunya kau pergi sendiri,” itu meloncat turun lalu mendekati Mahesa Jenar. “Paman, jangan Paman katakan kepada ayah kalau aku pergi sendiri” bisiknya.“Lalu uling itu...?” tanya Mahesa Salaka diam termangu. Kemudian jawabnya, “Aku katakan bahwa Pamanlah yang menangkap”Mahesa Jenar tersenyum. “Hampir semalam suntuk aku bersama ayahmu di pendapa itu. Bagaimana aku pergi menangkap uling?” Arya Salaka kebingungan. Akhirnya ia mendapat jawaban. Dengan tertawa ia berkata, “Gampang Paman, aku akan katakan bahwa seorang kawan memberi aku uling sebagai hadiah”“Hadiah apa?” tanya Mahesa Jenar.“Aku tidak tahu, Paman” Ia menjadi kebingungan lagi.“Tetapi seharusnya kau tidak pergi ke sana, Arya. Banyak bahayanya. Bukan saja uling- uling macam itu, tetapi uling yang tinggal di sebelah rawa itu akan lebih berbahaya bagimu, kalau mereka tahu bahwa kau adalah putra Ki Ageng Gajah Sora” kata Mahesa Jenar itu memandang Mahesa Jenar dengan penuh perhatian. “Uling Putih dan Uling Kuning, maksud Paman?”Mahesa Jenar mengangguk.“Baiklah Paman, tetapi pada suatu saat aku pasti akan dapat menangkapnya seperti menangkap uling itu”“Nah, pergilah, gantilah pakaianmu yang basah kuyup itu”Tanpa menjawab, anak itu memutar tubuhnya lalu melangkah pergi. Tetapi demikian Mahesa Jenar memandang punggung anak itu, ia menjadi terkejut, sebab punggung itu terluka dan darah cair mengalir dari luka itu.“Arya...” panggil Mahesa Jenar, “kenapa punggungmu luka?” “Luka...?” tanya Arya keheranan. “Ah tidak seberapa Paman” “Tetapi dari luka itu banyak mengalir darah”Arya Salaka menggosok punggungnya dengan tangannya, dan terasa sesuatu yang cair dan hangat.“Uling itu mencoba melawan, Paman, katanya kemudian, Kami berkelahi beberapa lama. Tetapi akhirnya aku dapat membunuhnya”“Untunglah uling itu tidak menyeretmu ke dalam rawa” sahut Mahesa Jenar.“Kakiku dibelitnya, Paman” jawab Arya Salaka bangga. “Dan memang ia mencoba menarik aku ke rawa. Tetapi tentu saja aku tidak mau. Rasa-rasanya tidak akan menarik berkunjung ke lubang uling. Karena itu aku berusaha membunuhnya dengan belati. Dan akhirnya sebagai Paman lihat sekarang, uling itu sudah mati. Kalau saja ibuku tidak tahu bahwa aku yang menangkapnya, pasti beliau senang untuk memasaknya.”Setelah berkata demikian, segera Arya meloncat dengan lincahnya menangkap ekor uling itu lalu diseretnya ke dapur sambil Jenar menggeleng-gelengkan kepala. Luar biasa, katanya kepada diri sejak ia melihat anak itu pertama kali, ia sudah merasa kagum. Arya Salaka merupakan seorang anak-anak laki-laki yang memiliki bakat yang baik. Badannya kukuh dan otaknya pun ternyata dapat bekerja dengan baik. Uling adalah sebangsa binatang air yang mirip dengan ular dan memiliki kekuatan yang luar biasa. Ia adalah belut raksasa. Tetapi anak ini dapat menangkapnya. Sebentar kemudian terdengar suara Nyai Ageng Gajah Sora nyaring. Rupanya Nyai Ageng sedang memarahi Arya Salaka. Kemudian terdengarlah langkah Arya berlari-lari keluar dan langsung meloncat memanjat sebatang pohon. Dari sana ia meloncat ke atas atap yang dibuat dari papan, untuk itu tampak Nyai Ageng menyusul di belakang, tetapi Arya Salaka telah lenyap. Mahesa Jenar segera memalingkan kepalanya, dan pura-pura tidak ketika Nyai Ageng melihatnya, segera ia mendekati Mahesa Jenar, “Kami mendapat tamu dari Pamingit, Adik dari Ki Ageng. Barangkali Adi Lembu Sora dapat memperkenalkan diri dengan Adi Mahesa Jenar.”Mahesa Jenar pura-pura terkejut lalu membalikkan dirinya. “Baiklah Nyai Ageng, sebaiknya aku mandi dulu” jawabnya.“Silakanlah Adi” katanya kemudian. Lalu ditinggalkannya Mahesa Jenar kembali seorang langkah-langkah segan Mahesa Jenar pergi menuruni tangga batu yang dibuat di lereng bukit di samping rumah Ki Ageng Gajah Sora, pergi ke mata air. Di sanalah biasanya ia mandi. Ia sama sekali tidak bernafsu untuk bertemu dengan Lembu Sora. Tetapi sebagai seorang tamu maka tak baik kalau ia Mahesa Jenar selesai membersihkan diri, segera ia pun naik ke pendapa dan langsung masuk ke pringgitan untuk menemui Ki Ageng Lembu kehadiran Mahesa Jenar, segera Gajah Sora memperkenalkannya kepada Lembu Sora. “Adi Lembu Sora, ini adalah Adi Mahesa Jenar, sahabatku yang telah lama tidak bertemu, katanya”Kemudian kepada Mahesa Jenar ia berkata, “Adi Mahesa Jenar..., Adi Lembu Sora ini adalah adikku satu-satunya yang sekarang memerintah daerah Perdikan Pamingit. Ia datang juga hanya untuk kunjungan kekeluargaan”Ternyata memang Ki Ageng Lembu Sora seorang yang sombong. Ketika Mahesa Jenar membungkukkan diri menghormatnya atas perkenalan itu, ia mengangkat dadanya dan memandang Mahesa Jenar dengan pandangan yang merendahkan. Kemudian ia bertanya, “Sahabat, adakah yang menarik perhatianmu, sampai kau datang dari jarak yang sedemikian jauhnya ke Banyubiru?”Pertanyaan itu sungguh tidak menyenangkan. Tetapi bagaimanapun Mahesa Jenar adalah tamu yang sopan, maka ia mencoba untuk tidak mengesankan ketidaksenangannya. Maka jawabnya, “Ki Ageng, memang banyak yang menarik perhatianku di sini. Terutama keramah-tamahan penduduknya” Lembu Sora menarik dagunya hampir melekat dadanya. Matanya menjadi berkilat-kilat. Rupanya ia merasakan sindiran halus yang diucapkan oleh Mahesa Jenar. Tetapi ia tidak menjawab, sebab segera Gajah Sora yang bijaksana mengalihkan pembicaraan mereka ke hal-hal yang tak bagaimanapun ada suatu kesan yang dalam menggores di dalam jantung Mahesa Jenar, bahwa Ki Ageng Lembu Sora bukanlah seorang yang baik hati. Dan sebenarnyalah bahwa memang orang ini telah banyak memusingkan kepala ayahnya. Ki Ageng Sora Lembu Sora itu orang lain, maka mudahlah soalnya. Tetapi ia adalah anak Ki Ageng Sora Dipayana, seperti juga Gajah Sora Dipayana. Di sinilah mulanya letak kesalahannya. Nyai Ageng Sora Dipayana dahulu terlalu memanjakan anak bungsunya, sehingga akhirnya anak ini susah diatur. Sedangkan Ki Ageng Sora Dipayana tidak mau mengecewakan istrinya, karena ia sangat Ageng Sora Dipayana adalah seorang istri yang setia, sejak Ki Ageng masih menjadi seorang yang harus mulai segala soal. Membuka hutan dan segala macam kerja yang harus dikerjakan dalam suasana sakit dan keadaan yang demikian, satu-satunya orang yang bersedia membantunya adalah almarhum istrinya itu. Karena itu, meskipun sekarang istrinya sudah tidak ada lagi, Ki Ageng Sora Dipayana tidak sampai hati untuk berlaku keras kepada anak kesayangan istrinya Mahesa Jenar merasa bahwa ia telah cukup lama turut serta menemui Ki Ageng Lembu Sora, segera ia minta diri untuk pergi berjalan-jalan, melihat-lihat kota Banyubiru. Ia tidak ingin lebih lama lagi bercakap-cakap dengan Ki Ageng Lembu Sora, yang tampaknya tak mau menghargai orang lain. Sebab ia sendiri bukanlah orang yang amat kuat menahan setelah ia mendapat izin dari tuan rumah, segera ia turun ke halaman dan berjalan keluar. Ia sama sekali tidak mempunyai tujuan kecuali sekadar menuruti langkah demikian ia keluar halaman, dilihatnya seorang yang berdiri bersandar dinding. Orang ini belum pernah dikenalnya. Beberapa orang Banyubiru yang dekat dengan Gajah Sora sudah hampir dikenal seluruhnya. Melihat Mahesa Jenar keluar, segera orang itu memutar tubuhnya dan berjalan perlahan-lahan menjauhi Jenar menjadi agak curiga. Tetapi apakah yang akan dilakukan di siang hari, dimana sinar matahari yang mulai terik ini membakar seluruh halaman?Tetapi bagaimanapun, orang itu sangat menarik perhatiannya. Sehingga timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk mengetahui maksud orang itu. Maka segera Mahesa Jenar pun berjalan mengikutinya dari jarak kira-kira 50 langkah. Ia menjadi semakin curiga ketika orang itu beberapa kali menengoknya dan mempercepat tiba-tiba Mahesa Jenar terkejut melihat bayangan yang melayang dari sebatang pohon di pinggir jalan, langsung menyerang orang yang menjadi bertambah terkejut ketika diketahuinya bahwa bayangan itu adalah Arya Salaka yang tak diketahui sebab-sebabnya menyerang orang yang berjalan di depan Mahesa Jenar orang itu pun bukan orang sembarangan. Dengan tangkasnya ia mengelakkan diri, bahkan sekaligus ia berputar sambil menyerang dengan tumitnya. Arya Salaka, ketika tidak berhasil menyerang orang itu dari atas pohon, rupanya menyadari bahwa lawannya berbahaya. Karena itu ia pun segera bersiap, sehingga ketika kaki lawannya melayang ke perutnya, ia meloncat kaki yang tak berhasil mengenainya itu berdesing di hadapan perutnya, Arya Salaka segera meloncat sambil menghantam dada orang bagaimanapun Arya Salaka adalah seorang anak yang belum dewasa. Apalagi lawannya ternyata memiliki kecepatan bergerak, sehingga demikian Arya Salaka meloncat, demikian ia masuk ke dalam perangkap lawannya. Tangannya yang terjulur untuk menyerang itu dapat ditangkap dan dengan sekali gerak tangan itu Arya Salaka ternyata cerdik juga. Ia mengikuti saja putaran tangannya, tetapi demikian ia membelakangi orang itu demikian cepat ia itu sama sekali tidak mengira bahwa anak-anak itu dapat berbuat demikian, sehingga karena hal yang sama sekali tak terduga-duga itu ia terlontar ke belakang dan tangkapannyapun orang itu menjadi marah sekali. Matanya tampak berapi-api dan dengan tidak ragu-ragu lagi ia pun meloncat maju menghantam Arya Salaka. Gerakan itu demikian cepatnya sehingga Arya Salaka tidak sempat mengelak. Maka yang dapat dikerjakan hanyalah menangkis pukulan kuatnya, Arya Salaka adalah seorang anak yang sama sekali tak seimbang dengan lawannya. Maka demikian tangannya yang disilangkan di muka kepalanya itu terbentur tangan lawannya, ia terpental jauh dan hampir saja kepalanya membentur dinding halaman. Untunglah bahwa Mahesa Jenar dengan cepatnya meloncat dan menangkap Arya Salaka berdesis menahan sakit. Tangannya terasa panas seperti terbakar. Tetapi meskipun demikian ia masih saja akan meloncat maju kalau tidak ditahan oleh Mahesa Jenar, sehingga ia meronta-ronta berusaha melepaskan pegangan itu. “Lepaskan..., lepaskan aku Paman” teriak Arya yang diserangnya itu rupanya juga benar-benar marah. “Lepaskan anak kurangajar itu, biar aku pecahkan kepalanya” katanya.”Tunggu dulu Arya Apakah sebabnya kau menyerang orang itu?” tanya Mahesa Jenarperlahan-lahan.“Ia berjalan hilir-mudik dan mengintai-intai rumah kami. Mungkin ia seorang penjahat yang akan memasuki rumah kami ini” jawabnya.“Tutup mulutmu!” hardik orang itu.“Tutup sendiri mulutmu” balas Arya Salaka. “Selama ini, di kota ini tidak ada orang yang bertingkah laku seperti kau. Tak pernah kota ini ada kejahatan seperti kota-kota lain. Dan kau aku kira bukan orang Banyubiru, yang datang untuk membuat onar di sini” Mendengar makian Arya Salaka, orang itu tak dapat menahan diri lagi. Karena itu ia melangkah maju dan dengan tangannya yang kuat ia menampar muka Arya Arya Salaka sudah berada di tangan Mahesa Jenar. Karena itu sudah pasti kalau Mahesa Jenar tidak akan membiarkan begitu saja hal itu terjadi. Maka ketika tangan itu sudah terayun, Mahesa Jenar memutar tubuhnya dan memasang sikunya, sehingga tangan orang itu mengenai siku Mahesa perlakuan Mahesa Jenar, orang itu menjadi semakin marah.“Apamukah anak ini...? Anakmu...? Kalau begitu kau tak pandai mengajar anakmu sehingga anakmu kurangajar” bentaknya.“Tunggu dulu...” jawab Mahesa Jenar, “Jangan berlaku kasar terhadap anak-anak. Memang barangkali anak ini terlalu nakal, tetapi biarlah orang tuanya yang mengajarnya. Seharusnya kau melaporkan saja kepada ayah bundanya. Sedang kau sendiri, memang dapat menimbulkan sangkaan yang bukan-bukan. Sikapmu agak mencurigakan”Wajah orang itu menjadi merah padam. Kata-kata Mahesa Jenar sangat menusuk perasaannya. Karena itu, hampir berteriak ia kembali membentak, “Apa hakmu berkata demikian. Adakah kau pengawal kota atau Kepala Daerah Perdikan ini?”Aku bukan apa-apanya, jawab Mahesa Jenar, masih setenang tadi. “Tetapi tiap-tiap warga kota ini berhak turut serta menjaga keamanan kotanya. Dan bukankah kau bukan penduduk Banyubiru?”Mata orang itu menjadi semakin berapi-api. Tetapi rupanya ada sesuatu pertimbangan yang menahannya untuk tidak berbuat sesuatu. Akhirnya ia berkata lantang, “Tak ada gunanya aku melayani orang-orang gila macam kau dan anak itu”Lalu ia memutar tubuhnya, dan melangkah pergi. Tetapi kali ini Mahesa Jenar yang kemudian tidak membiarkan orang itu pergi. Ia segera menahannya.“Nanti dulu, bukankah kau bermaksud melaporkan anak ini kepada ayahnya. Nah, marilah aku antar kau kepadanya. Ayah anak ini adalah Ki Ageng Gajah Sora” kata Mahesa kata-kata Mahesa Jenar, segera wajah orang itu berubah. Sebentar kemudian nampak ia menjadi pucat dan gemetar. Tetapi sebentar kemudian kembali wajahnya menyala-nyala. Kemudian kembali ia melangkah pergi tanpa mengucapkan sepatah sikapnya, Mahesa Jenar bertambah curiga. Segera Arya Salaka dilepaskan dan didorongnya ke pinggir, sedangkan ia sendiri segera meloncat untuk menghadang orang yang dicurigainya itu.“Tunggu dulu... urusan kita belum selesai” gigi orang itu gemeretak menahan marah. Sikap Mahesa Jenar dirasa sudah keterlaluan. Meskipun demikian ia masih berusaha untuk menghindari bentrokan. Tidak ada persoalan diantara kita, sebaiknya kau jangan memulainya, kata orang yang menyaksikan peristiwa itu segera tertarik dan mengerumuninya. Mereka mengenal Mahesa Jenar sebagai sahabat Ki Ageng Gajah Sora. Beberapa orang diantara mereka bertanya-tanya, “apakah yang terjadi...?“Belum lagi Mahesa Jenar sempat menjawab, Arya Salaka telah mendahului berceritera dengan suara yang mengalir seperti air itu menjadi semakin gelisah, wajahnya kembali menjadi pucat. Jangan dengarkan omongan anak itu. Sekarang beri aku jalan, katanya. NAGASASRA dan SABUK INTEN Judul Buku Nagasasra dan Sabuk Inten Karya SH Mintardja Gambar Kulit Kentardjo Illustrasi R. Soesilo Jilid 29 Jilid Format A5 Halaman 80 halaman Kertas Buram Penerbit Kedaulatan Rakyat Yogyakarta Tahun Jilid 1 dicetak tahun 1966 Prakata Penulis apa yang dapat kuutarakan dalam buku kecil ini, sama sekali tak berarti, meskipun aku bermaksud untuk mengatakan sesuatu, tentang jiwa kepahlawanan, kecintaan kepada rakyat dan tanah air, kesetiaan pada kebenaran, serta hukuman pada setiap kemungkaran, lebih dari pada itu, aku ingin mengutarakan, betapa tanah air memiliki pula bahan-bahan yang dapat disusun untuk sebuah cerita seperti ini. Mahesa Jenar dikutip dari Mahesa Jenar merupakan tokoh utama dalam cerita Nagasasra dan Sabukinten karya Mintardja. Cerita yang populer tahun 1960 ini mengisahkan tentang sosok mantan prajurit Kasultanan Demak dalam upaya mencari pusaka kerajaan, yakni keris Nagasasra dan Sabukinten. Penggambaran tokoh Mahesa Jenar dikenal pula sebagai Senapati Rangga Tohjaya. Gelar itu didapatnya saat masih menjabat sebagai salah satu prajurit pilihan di Kerajaan Demak. Mahesa Jenar berasal dari Kadipaten Pandan Arang Semarang. Dia adalah murid dari Ki Ageng Pengging Sepuh alias Pangeran Handayaningrat, putra dari Prabu Brawijaya kelima. Saudara seperguruannya adalah Ki Ageng Pengging alias Ki Kebo Kenanga adalah putra dari Ki Ageng Pengging Sepuh. Di dalam perantauannya, Mahesa Jenar juga dikenal sebagai Manahan. Nama itu dipakainya saat melarikan diri dari kejaran laskar banyubiru demi menyelamatkan Arya Salaka, putra sahabatnya, Ki Ageng Gajah Sora. Masa kecilnya dilalui sebagai teman bermain “Nis” yang dikenal juga sebagai Ki Ageng Sela Enom. Nis Sela atau yang dikenal juga dengan sebutan Ki Ageng Ngenis adalah putra dari Ki Ageng Sela Sepuh. Legenda mengatakan bahwa Ki Ageng Sela Sepuh yang tinggal di daerah Sela, Boyolali, Jawa Tengah memunyai kelincahan yang luar biasa sehingga mampu menangkap petir. Dan kemampuan ini menurun pada anaknya Nis Sela Dalam cerita rekaan ini, tokoh fiktif ini digambarkan dekat dengan beberapa tokoh yang masuk dalam sejarah Jawa, di antaranya Sultan Trenggana, Jaka Tingkir, Panjawi, dan sosok-sosok lainnya. Hubungan dengan beberapa tokoh nyata ini karena jalan ceritanya mengambil latar ketika masih berkuasanya Kasultanan Demak. Mahesa Jenar merupakan salah satu prajurit yang sangat dihormati di lingkungan kerajaan, termasuk oleh Sultan Trenggana sendiri. Sayang saat terjadi peristiwa terbunuhnya Ki Kebo Kenanga ditambah pencurian pusaka kerajaan, Kyai Nagasasra dan Kyai Sabukinten, Mahesa Jenar dianggap sebagai seteru kerajaan, hingga akhirnya dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya dan mulai merantau untuk melacak keberadaan kedua keris pusaka itu. Mahesa Jenar dikenal dengan sikapnya yang jantan dan ksatria. Dia adalah tipikal prajurit yang berjuang tanpa berharap imbalan. Begitu gigihnya dalam perjuangan, Mahesa Jenar sampai kadang melupakan kepentingan pribadinya. Mahesa Jenar juga tipe pria yang keras hati dan kadangkala dianggap kaku oleh kaum perempuan. Kekakuannya itu sebenarnya adalah cerminan dari ketulusan jiwanya dan kerelaannya berkorban untuk sesuatu yang dianggapnya benar. Termasuk jika dia harus mengorbankan perasaannya sendiri demi kebahagiaan orang yang dicintainya. Sikapnya yang demikian juga karena kecanggungannya jika berhadapan dengan wanita sehingga membuatnya bisa bersikap tidak wajar. Peristiwa yang melibatkan dirinya dengan Nyai Wirasaba menunjukkan betapa Mahesa jenar kurang peka dalam menyelami perasaan seorang wanita. Dalam perjalanannya, suatu hari di Hutan Tambak Baya, dirinya menolong seorang gadis cantik bernama Dewi Rara Wilis dari cengkeraman penjahat yang menamakan dirinya Jaka Soka dan Lawa Ijo setelah melalui pertempuran sengit dan nyaris tewas oleh kekuatan pusaka Lawa Ijo. Dari situlah Mahesa Jenar kemudian menaruh bibit cinta pada Rara Wilis. Rara Wilispun ternyata membalas cintanya, meskipun kemudian Mahesa Jenar berusaha meninggalkannya karena tahu dirinya tidak bisa memberikan apa-apa pada gadis yang sangat dicintainya itu. Hal itu dilakukannya setelah mengetahui saudara perguruan Rara Wilis, Demang Sarayuda yang kaya raya juga mencintai Rara Wilis. Tidak diketahui apakah sikap Mahesa Jenar yang demikian itu benar-benar keluar dari dasar hatinya ataukah sekedar akibat kecemburuan sesaat. Beruntung kemudian Mahesa Jenar mendapat nasihat dari Ki Ageng Pandan Alas, kakek sekaligus guru dari Rara Wilis. Dalam perantauannya, Mahesa Jenar bersahabat dengan Ki Ageng Gajah Sora dari Banyubiru. Ki Ageng Gajah Sora adalah putra sekaligus murid dari Ki Ageng Sora Dipayana yang juga adalah sahabat gurunya. Uniknya, sebelum saling menyadari, keduanya terlibat pertarungan dahsyat yang nyaris merenggut nyawa mereka berdua. Persahabatan mereka berdua pula yang membawa Mahesa Jenar terlibat perang saudara di Banyubiru dan akhirnya harus melarikan diri setelah Ki Ageng Gajah Sora difitnah telah mencuri keris Nagasasra dan Sabukinten. Dalam pelariannya itu, dia membawa putra Ki Ageng Gajah Sora, Arya Salaka yang belakangan diangkatnya sebagai anak dan murid. Secara tidak diduga, dalam pelariannya selama hampir lima tahun itu, dia bertemu dengan paman gurunya Ki Kebo Kanigara saudara seperguruan sekaligus anak tertua Ki Ageng Pengging Sepuh , yang memiliki kesaktian jauh lebih dahsyat dari gurunya sendiri. Dan lewat bimbingan dari Kebo Kanigara pulalah Mahesa Jenar akhirnya bisa melewati batas kemampuan ilmunya sendiri yang membuat ilmunya meningkat berlipat-lipat hingga diapun juga berhasil melampaui kesaktian gurunya. Kesaktian Mahesa Jenar menguasai Ilmu Sasra Birawa dari perguruan Pengging dengan baik. Sebelum mendapat bimbingan dari Ki Kebo Kanigara, ilmunya masih belum seberapa, hanya setingkat lebih tinggi dari kesaktian para pendekar level menengah seperti Mantingan, Wirasaba, Jaka Soka atau Lawa Ijo. tapi setelah menggembleng diri di bawah bimbingan Ki Kebo Kanigara, ilmunya meningkat tajam, bahkan jika harus melawan para sesepuh dunia persilatan sekalipun Mahesa Jenar tidak akan kalah Sehingga Mahesa Jenar kemudian disebut sebagai titisan dari Almarhum Pangeran Handayaningrat sendiri. Bahkan oleh sebagian kalangan tua, Mahesa Jenar dipandang lebih hebat dari gurunya tersebut. Tata Gerak yang diperagakan oleh Mahesa Jenar selain murni dari tata gerak perguruan Pengging, juga dikembangkan dengan kemampuannya menirukan gerak binatang di alam liar, sehingga perkembangan gerakan Perguruan Pengging menjadi semakin bervariasi. Mahesa Jenar kerap disebut memiliki kelincahan seekor kijang dengan tenaga seekor banteng. Dia juga bisa menggunakan berbagai macam senjata dengan baik berkat latihannya sebagai prajurit, segala benda yang ada di tangannya bisa digunakan sebagai senjata yang mematikan. Mahesa Jenar juga gemar mengamati setiap tata gerak dari setiap lawannya membuatnya mampu membaca setiap gerakan lawannya. Ki Kebo Kanigara menyebutnya bertarung dengan kecerdasan. Tidak salah jika disebut demikian karena Mahesa Jenar selain jeli juga memiliki otak yang cemerlang. Kecerdasannya dibuktikan saat mengungkap teka-teki keberadaan tokoh misterius bernama Pasingsingan, bahkan dia berhasil pula menghubungkan keberadan Pasingsingan dengan Panembahan Ismaya, sesepuh Padepokan Karang Tumaritis, yang sejatinya adalah guru dari seluruh Pasingsingan yang ada. Berkat kecerdasannya pula dia berhasil menyempurnakan ilmu Sasrabirawa tidak hanya sebagai ilmu untuk menyerang, tapi juga bisa berfungsi sebagai pertahanan. Pasingsingan yang bernama Umbaran pernah merasakan bagaimana ilmunya berhasil dipatahkan dengan perlindungan Sasrabirawa yang disempurnakan oleh Mahesa jenar. Mahesa Jenar juga kebal racun karena di dalam darahnya mengalir bisa ular Gundala Seta yang terkenal mampu menetralisir segala macam racun. Bisa ular Gundala Seta tersebut diperolehnya dari Ki Ageng Sela. Kemampuannya dibuktikan saat mengobati kaki Wirasaba, salah satu sahabatnya yang disebut juga sebagai Seruling Gading. Dan sekali lagi saat memunahkan racun dari pusaka Lawa Ijo yang dikenal dengan sebutan Akik Kelabang Sayuta. Wedaran naskah Naskah diunggah satu demi satu sesuai ketersediaan wajtu untuk editing. Tautan link sudah disediakan di bawah ini, tetapi mungkin belum semuanya terdapat tautan ke naskah. Mohon bersabar. 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29

nagasasra sabuk inten jilid 10